Friday, June 8, 2012

Sistem Pengetahuan Masyarakat Kampung Naga



A.    Pengetahuan dan Keterampilan Usaha Tani 
Masyarakat Kampung Naga secara umum merupakan masyarakat petani. Mereka menggarap baik lahan pertanian basah maupun lahan pertanian kering. Sebenarnya hampir sama dengan penduduk sunda lainnya, hanya saja yang menjadikan mereka berbeda adalah keteguhan mereka memakai cara-cara tradisional. Mereka masih belum menerima (menolak ) cara-cara perbaikan teknologi pertanian yang maju yang diaplikasikan dalam program Panca Usaha Tani. Misalnya, mereka tidak menggunakan bibit padi varietas unggul seperti yang telah digunakan oleh petani daerah lainnya. Masyarakat Kampung Naga masih tetap mempergunakan bibit dari jenis padi tradisional, yaitu Pare Gede.
Lahan pertanian milik masyarakat Kampung Naga meliputi lahan pertanian sawah, lahan pertanian kering dan balong-balong (kolam ikan). Lahan tersebut seluruhnya berada di sekitar Kampung Naga dalam radius tidak lebih dari satu kilometer.

Lahan persawahan milik masyarakat Kampung Naga terletak di sebelah selatan. Lahan tersebut terbentang di lereng (tebing) yang memisahkan antara lembah Naga dengan jalan raya (yang menghubungkan kota Tasikmalaya, Garut dan Bandung). Lahan persawahan tersebut dibuat secara berteras-teras sampai batas jalan setapak (di pinggir sungai Ciwulan) yang menjadi satu-satunya jalan ke Kampung Naga.

Masyarakat Kampung Naga sering mengerjakan lahan pertaniannya dengan cara liliuran, yakni secara bergiliran lahan pertanian milik warga digarap secara bersama-sama. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat biaya dan waktu, masa tanam dilakukan secara serempak.; hal ini dilakukan untuk dapat memudahkan mengatasi hama padi yang menyerang terutama tikus.

Lahan pertanian sawah dan lahan kering milik masyarakat Kampung Naga sebagian besar berada pada lahan yang miring (lereng bukit) dengan sudut kemiringan rata-rata sekitar 15% sampai 20%. Lahan tersebut ditata menjadi lahan yang berteras-teras atau berundak-undak mengikuti garis kontur, atau dikenal dalam istilah Sunda dengan sebutan ngais pasir. Arti pasir disini adalah bukit atau punggungan, ngais berarti menggendong dengan sangkutan kain (batik) panjang atau samping kebat. Pemerataan air di setiap petak sawah diatur melalui kokocoran, yaitu pelepasan air dari satu petak ke petak berikutnya, mulai dari petak yang paling atas sampai petak yang paling bawah, dengan cara menorah setiap pematang sawah dengan pola zig-zag.

Mengenai penentuan musim kemarau dan musim hujan serta penentuan musim baik dan buruk untuk bertani, dapat digambarkan sebagai berikut:

Secara umum, masyarakat Kampung Naga tidak memahami mengapa matahari kadang-kadang bergeser ke arah utara dan kadang-kadang ke arah selatan dari titik pandang mereka. Tetapi mereka telah menyimak suatu kesan dari gejala tersebut. Mereka telah dapat mengantisipasi bahwa bila matahari telah jauh bergeser ke arah selatan dari titik pandang mereka, pada waktu itu diharapkan musim hujan akan tiba. ……. Sebaliknya, mereka telah mengantisipasi juga datangnya musim kering atau usum halodo, bila matahari telah jauh bergeser jauh ke arah utara dari titik pandangnya (Masyarakat Kampung Naga khususnya dan masyarakat di daerah Priangan pada umumnya telah memiliki satu pertanda alam, yang dikenal dengan sebutan totonde, yang bernama tonggeretbanen atau turaes (sejenis serangga). Bila terus menerus berbunyi, hal itu berarti menjadi pertanda bahwa musim kering akan tiba.)……….. masyarakat Kampung Naga juga mengenal bulan-bulan mana yang baik untuk bertani dan bulan-bulan mana yang menguntungkan untuk bertani. Pertimbangan yang terakhir ini didasarkan pada kepercayaan mereka yang diturunkan oleh leluhurnya.

B.    Pengetahuan dan Keterampilan Usaha Kerajinan
Selain memiliki pengetahuan dalam bertani, masyarakat Kampung Naga juga memiliki kemahiran sebagai pengrajin anyaman bambu. Dalam hal ini mereka memiliki kemahiran diantaranya membuat beberapa jenis anyaman, pemilihan dan pengolahan bahan anyaman, corak ragam anyaman, penentuan waktu untuk mengambil bahan pembuat anyaman dan sebagainya. Ini menjadi sumber nafkah masyarakat Kampung Naga yang kedua setelah pertanian adalah produksi anyaman bambu.

Produksi anyaman yang biasanya dipasarkan antara lain: pertama: dudukuy (sejenis caping). Ada dua jenis dudukuy yang terdapat di kampung naga yaitu dudukuy galabag (merupakan dudukuy besar yang hampir menyerupai payung. Barang ini memang biasanya dipakai pada musim hujan. Sementara jenis dudukuy cetok merupakan jenis yang lebih kecil dari dudukuy galabag. Dudukuy jenis ini biasanya dipakai untuk bekerja di sawah, lading. Selain itu, dudukuy jenis ini merupakan suatu tanda yang khas bagi anak gembala kerbau, dengan fungsi yang serba guna diantaranya untuk memelindungi matahari dari teriknya matahari, untuk mengambil air dari sawa, sungai atau balong ketika memandikan kerbaunya, dan untuk membawa makanan (nasi dan lauk pauk) yang diberikan pemilik hewan yang digembalakannya)  dengan ukuran diameter 60-90 sentimeter, dibuat dari bilahan bambu yang diraut tipis. Lebar bilahan sekitar 5-8 sentimeter dan tebal bilahan sekitar1-2 milimeter. Panjang bilahan disesuaikan dengan benda yang akan dibuat. Jenis dudukuy yang kedua adalah dudukuy cetok. Bentuk dan bahannya tidak berbeda dengan jenis yang pertama, hanya saja ukurannya lebih kecil. Jenis dudukuy ini memiliki diameter sekitar 30-35 sentimeter.

Kedua: peralatan dapur. Jenis anyaman yang dihasilkan sebagai alat-alat dapur antara lain boboko (berbagai jenis bakul), aseupan (kukusan, alat penanak nasi), nyiru (niru, alat penapi gabah atau beras). Ketiga: alat untuk menjemur padi. Peralatan itu adalah giribig (adalah anyaman bambu (agak halus) dengan bilahan yang diraut tipis dengan tebal satu sampai dua sentimeter dan bentuk keseluruhan adalah empat persegi panjang dengan ukuran terkecil dua sampai tiga sentimeter bujur sangkar, tanpa bingkai, sehingga dapat digulungkan jika tidak dipakai) dan tampir (Tampir mempunyai bentuk yang bundar. Bahan dan teknik menganyam sama persis dengan giribig. Selain bentuknya yang bundar, tampir memiliki bingkai yang terbuat dari bambu yang lebih tebal. Hal ini menyebabkan tampir tidak bisa digulung jika tidak dipakai, akan tetapi disusun. Tampir memiliki diameter satu sampai satu setengah meter). Keempat: bahan bangunan. Bahan bangunan masyarakat kampung naga yang dianyam adalah bilik. Bilik adalah anyaman bambu dengan ukuran  tebal bilahan sekitar satu sampai satu setengah millimeter, lebar antara empat sampai empat setengah sentimeter, bentuk keseluruhan empat persegi panjang dengan ukuran dua 2,5x5 meter atau lebih. Produk ini biasanya digunakan sebagai dinding rumah atau langit-langit rumah. Lima: jenis anyaman yang diadopsi dari luar yang memiliki nialai seni, misalnya tas.

Hasil anyaman masyarakat Kampung naga termasuk banyak dan beragam (lihat di peralatan produksi). Selintas, teknik menganyam yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga tidak ada bedanya dengan anyaman-anyaman dari daerah lain. Akan tetapi jika diamati secara lebih serius, sedikitnya ada tiga corak anyaman, yaitu: pertama, corak anyaman yang disebut kepang, kedua, corak anyaman yang dikenal dengan sebutan anyaman bilik, dan ketiga, corak anyaman biasa yang disebut anyaman selancar. Ada juga corak anyaman seseg atau anyaman gedeg dan anyaman pager. Corak ini menunjukan anyaman yang kasar, hampir setiap orang mengerjakannya.

Dari segi bahan baku, masyarakat Kampung Naga menggunakan bahan bambu, atau yang dikenal mereka dengan sebutan awi. Tidak semua bambu bisa dijadikan anyaman. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan tersendiri, yakni meliputi jenis pertama, bambu yang akan dijadikan anyaman yaitu jenis awi tali atau awi temen. Jenis bambu ini memiliki kelebihan selain lentur juga liat, sehingga memudahkan dalam proses pembilahan dan perautannya. 
 
Kedua, pengetahuan yang berhubungan dengan usia bambu yang baik untuk bahan anyaman. Usia bambu yang cocok dijadikan anyaman adalah bambu yang memiliki umur yang tidak terlalu tua dan tidak pula terlalu muda. Usia ini dikenal dengan sebutan sumedeng lumiat. Pada saat tersebut, bambu berada dalam kondisi paling lentur atau liat. 
 
Ketiga, penentuan waktu yang tepat untuk menebang bambu. Waktu yang tepat yang dipahami mereka adalah sekitar pukul sebelas. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada saat tersebut kadar air yang ada dalam bambu tidak terlampau tinggi dan tidak terlampau rendah. Jika bambu ditebang ketika kadar air yang ada di dalamnya terlampau tinggi (ditebang pagi-pagi), maka hasil anyaman akan mudah lapuk. Begitu pula sebaliknya, jika bambu ditebang dalam kondisi kadar airnya terlalu rendah, maka kelenturan atau keliatannya akan berkurang. Dalam bahasa Sunda disebut regas atau mudah patah dan pecah-pecah. Alasan lain yang mereka pegang adalah, kalau menebang bambu terlampau pagi akan ada banyak hambatan menghadang, misalnya sulitnya menembus hutan bambu karena dihambat oleh embun, nyamuk dan rametuk (binatang kecil yang biasanya mengejar cahaya lampu). Bila menebang bambu tengah hari atau menjelang sore, hambatannya adalah bulu-bulu bambu atau dalam bahasa Sunda disebut merang awi mudah terlepas dari bambu dan terbang. Bila ini terjadi dan mengenai badan yang berkeringat, maka badan akan terasa sangat gatal.

Bersambung…….

Tulisan ini merupakan serpihan-serpihan tulisan
dari skripsi penulis berjudul:

Da’wah Dan Tradisi Lokal
 (Studi Hajat Sasih Pada Masyarakat Adat Kampung Naga, Tasikmalaya dan Strategi Da’wah Terhadap Masyarakatnya)

0 comments:

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Yogi Hendra Kusnendar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...