Kampung Naga; Eksotisme Wisata Budaya

Sampai di Kampung Naga, sekilas kita akan merasakan kembali berada pada zaman dimana manusia masih murni tanpa tersentuh hingar bingar modernisasi. Terletak di kota Tasikmalaya, kampung ini merupakan salah satu perkampungan yang sangat erat memegang tradisi mereka dari zaman ke zaman. Utuh dan menyatu tak tergerus lekangnya waktu.

Pantai Pangandaran

Mendengar kata Pangandaran, pasti terbayangkan ombak laut yang tenang, pasir putih dan wisata cagar alam yang ada disana. Objek wisata yang merupakan primadona pantai di Jawa Barat ini terletak di Desa Pananjung Kecamatan Pangandaran dengan jarak ± 92 km arah selatan kota Ciamis.

Green Canyon; Trip To Paradise

Jika merasa terlalu jauh berkunjung ke Grand Canyon yang ada di Amerika sana, sekarang Anda tidak perlu terlalu kecewa lagi. Indonesia ternyata juga memiliki Green Canyon yang tak kalah cantiknya. Objek wisata mengagumkan ini sebenarnya merupakan aliran dari sungai Cijulang yang melintas menembus gua yang penuh dengan keindahan pesona stalaktif dan stalakmitnya.

Kawah Putih

Di ketinggian Gunung Patuha, tersembunyi keindahan bekas kawah tua yang unik. Bau belerang akan menyambut Anda begitu tiba di tebing kawah, menjadi sajian yang tidak terpisahan ketika mengagumi kawah berwarna hijau muda yang dikelilingi oleh pasir putih serta riak air dalam kawah yang bertabur asap tipis serta sesekali letupan lumpur hidup, menjadikannya sebuah atraksi alam yang tiada duanya.

Gunung Tangkuban Parahu

Duduk dengan anggunnya mendominasi panorama Bandung utara, Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung berapi yang masih aktif di Jawa Barat. Berada di ketinggian 2084 m dpl, gunung berbentuk unik ini telah menarik banyak pengunjung selama puluhan tahun yang datang untuk melihat lebih dekat kawahnya, menikmati panorama lembah sekelilingnya, serta lebih akrab dengan cerita rakyatnya yang terkenal, Sangkuriang.

Tuesday, September 8, 2009

Pantai Pamayangsari

Pantai Pamayangsari merupakan salah satu Obyek wisata bahari yang ada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya., tepatnya di  Kecamatan Cipatujah. Pantai Pamayangsari merupakan pantai yang landai dengan panorama alam pesisir yang khas. Bebatasan langsung dengan tempat konservasi penyu hijau yang langka dan dilindung. disebelah timurnya terdapat Pelabuhan Nelayan dan tempat Pelelangan Ikan.

Pantai Karangtawulan

Suasana yang alami dan sepi menjemput  saat berkunjung ke  Pantai Karangtawulan. Deru ombak laut selatan yang menghantam karang-karang berserakan mewarnai keheningan obyek wisata ini. Karangtawulan merupakan salah satu Pantai yang berkarang curam. 

Situ Sanghiyang

Situ Sanghiyang merupakan salah satu obyek wisata air yang terletak di Desa Cilolohan dan Desa Cibalanarik  yang berjarak sekitar 27 Km dari Pusat Kota Tasikmalaya. Disekitar Danau terdapat Makam Keramat Eyang Prabu Linggaswatu.

Masjid Manonjaya

Hanya ada dua masjid agung di tatar Jawa Barat yang bangunannya dilindungi Undang-Undang Kepurbakalaan Badan Arkeologi RI, yaitu Masjid Agung Sumedang dan Masjid atau Kaum Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya. Kedua masjid agung tersebut selain berusia ratusan tahun, juga keduanya memiliki Nilai Sejarah Tinggi yang perlu dilestarikan.

Kampung Naga

Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih 4 ha. Lokasi obyek wisata Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya - Bandung melalui Garut, yaitu kurang lebih pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya. Secara administratif Kampung Naga termasuk kampung Legok Dage Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.

Gunung Galunggung

Gunung Galunggung merupakan gunung berapi dengan ketinggian 2.167 m di atas permukaan laut, terletak sekitar 17 km dari pusat kota Tasikmalaya Berlokasi di Desa Linggajati Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya. Setelah terakhir meletus pada Tahun 1982, Panorama alam di sekitar Gunung Galunggung saat ini sangat mempesona. Kawah yang dulu memuntahkan lahar panas, pasir dan bebatuan, kini telah berwujud menjadi semacam danau luas, bening, berair dan tenang serta dikelilingi hutan hijau yang asri

Jasper, Batu Merah Dari Pancatengah

Batu merah Jasper (Inggris) atau Jaspis (Indonesia), merupakan anggota mineral keluarga kuarsa (quartz family mineral), diduga merupakan hasil dari aktifitas gunung api bawah laut pada masa jutaan tahun yang lalu.

Asal-usul Masyarakat Kampung Naga

Tulisan Kedua

Tidak ada rujukan yang jelas mengenai asal-usul masyarakat Kampung Naga. Hal ini dikarenakan data-data sejarah mengenai asal-usul Kampung Naga musnah ketika perkampungan tersebut dibakar gerombolan DI/TII pada tahun 1956. Dari cerita dan tulisan-tulisan yang ada, terdapat beberapa versi yang berbeda mengenainya. Diantaranya:

Pertama, masyarakat Kampung Naga merupakan sebagaian kecil dari penduduk kerajaan Pajajaran yang menganut agama Hindu. Mereka memilih mengungsi ke daerah pinggiran manakala Islam datang Akan tetapi, lama-kelamaan mereka juga menjadi penganut agama Islam. Hanya saja ajaran-ajaran hindu masih sangat jelas dalam setiap ritual yang mereka adakan. . (Agus Widianto, Keunikan Hidup di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/ 23 Maret 2007)

Kedua, masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan dari kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka adalah keturunan dari Sembah Dalem Eyang Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang merupakan Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, runtuhnya kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang terjadi pada tahun 1520M. Hal tersebut disebabkan karena mereka diserang oleh kerajaan Pajajaran di bawah pimpinan Prabu Surawisesa (1535-1543 M (dalam tulisan Pakuan Pajajaran, website: http://id.wikipedia.org/ disebutkan bahwa masa berkuasa Prabu Surawisesa adalah sekitar tahun 1521-1535)). Saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan Islam dan kerajaan Hindu yang sebelumnya berkuasa. Kerajan Galunggung merupakan kerajaan yang telah memeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran (Hindu) sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Singaparana dibekali dengan ilmu kebodohan yang bisa membuat dirinya nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian). (Ahmad Gibson Al Busthomi, Islam Sunda Bersahaja di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/ 23 Maret 2007)

Ketiga, masyarakat Kampung Naga merupakan satu keturunan dari Sembah Dalem Eyang Singaparana. Kampung Naga pertama kali dibangun oleh Eyang Singaparana bersama enam saudaranya. Ketujuh bersaudara ini juga dikenal sebagai pemberontak dari kerajaan Mataram, yang desersi dalam tugas karena tidak berhasil merebut Batavia dari Belanda. (Sisa Romantisme Pemberontak Mataram, website: http://www.sinarharapan.com, 23 Maret 2007)

Keempat, masyarakat Kampung Naga berasal dari kerajaan Galuh. Setelah kerajaan tersebut menganut agama Islam, maka diutuslah dari kalangan kerajaan, tiga utusan untuk menyebarkan agama Islam ke daerah lainnya. Ketiga utusan tersebut mengembara ke tiga tatar (daerah) yang berbeda. Yang pertama menuju tatar kaler atau ke daerah utara, yang mereka sebut sebagai daerah Cirebon sekarang. Utusan yang pertama tersebut dibekal dengan watek kabeungharan (watak kekayaan) dengan jalan tatanen (bertani). Utusan yang kedua menuju tatar kulon (ke daerah Barat) yang mereka sebut sebagai Banten sekarang. Utusan kedua ini diwarisi dengan watek kawedukan, watek kapinteran (salah satunnya tidak mempan dengan senjata). Utusan yang ketiga menuju ke tatar tengah, yang menurut mereka adalah tempat dimana mereka berada sekarang. Utusan ketiga ini diwarisi watek kabodoan,watek kajujuran. Watak ini sesuai dengan ungkapan yang selalu hidup dalam kehidupan mereka. Adapun utusan yang ke tatar tengah menurut cerita mereka adalah Sembah Dalem Singaparana, yang menurunkan masyarakat Kampung Naga sekarang. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, Op. Cit., hal. 63-65)

Keseluruh data sejarah tersebut tidak dibenarkan ataupun disalahkan oleh Kuncen Kampung Naga. Hal ini dikarenakan sudah tidak ada lagi catatan sejarah yang resmi milik Kampung Naga. Satu hal yang dibenarkan olehnya adalah bahwa masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan dari Sembah Dalem Eyang Singaparana. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007)

Bersambung…….

Asal-usul Masyarakat Kampung Naga
Oleh: Yogi Hendra Kusnendar S.Sos.I

merupakan serpihan-serpihan tulisan
dari skripsi penulis berjudul:

Da’wah Dan Tradisi Lokal
 (Studi Hajat Sasih Pada Masyarakat Adat Kampung Naga, Tasikmalaya dan Strategi Da’wah Terhadap Masyarakatnya)

Peralatan Hidup Masyarakat Kampung Naga

Tulisan Kesembilan
Ada beberapa peralatan yang dibuat dan dipakai sendiri oleh masyarakat Kampung Naga. Beberapa yang telah terdokumentasikan, secara umum dapat terbagi kepada beberapa hal, diantaranya rumah, Bumi Ageung, Masjid dan Bale Patemon, Saung Lisung, Leuit dan sebagainya. 

Sistem Religi Masyarakat Kampung Naga

Tulisan Ketujuh

A.    Agama dan Adat Istiadat
Masyarakat Kampung Naga adalah penganut agama Islam. Tidak ada perbedaan dengan penganut Islam lainnya, hanya saja sebagaimana masyarakat adat lainnya, mereka juga sangat patuh memegang adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Bagi masyarakat Kampung Naga, agama dan adat merupakan kendali dalam mengatur kehidupan mereka. Ketaatan mereka kepada agama merupakan kewajiban yang diturunkan leluhur mereka. Dan ini berarti juga bentuk ketaatan mereka kepada adat istiadat yang selama ini mereka pegang teguh. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)

Hajat Sasih; Ritual Terbesar dan Tersakral di Kampung Naga (2)

(Pemahaman Masyarakat terhadap hajat Sasih)

Tulisan Kelima

Secara khusus, Hajat Sasih dipahami masyarakat Kampung Naga sebagai bentuk permohonan berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, serta mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepada mereka. (Upacara Adat di Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 2007) Selain itu, ritual ini juga dilaksanakan sebagai ritual penyambut dan peraya hari-hari besar Islam seperti Iedul Fitri, Iedul Adha, Maulid Nabi Muhammad Saw, Haji dan sebagainya. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Oleh karena itu ritual ini sampai saat ini tidak pernah terputus atau ditinggalkan oleh masyarakat Kampung Naga dan Sanaga.

Hajat Sasih; Ritual Terbesar dan Tersakral di Kampung Naga

Tulisan Kelima

Pengertian Hajat Sasih
Tidak ada pengertian khusus mengenai ritual Hajat Sasih yang dilaksanakan di Kampung Naga. Akan tetapi jika dilihat secara bahasa, hajat (dalam Bahasa Sunda) berarti perayaan, dan sasih berarti bulan. (Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007) Hajat Sasih merupakan salah satu perayaan dalam bentuk ritual khusus yang dilaksanakan selama dua bulan sekali oleh masyarakat Kampung Naga. Ritual ini adalah ritual terbesar dan tersakral yang mereka laksanakan dibandingkan ritual-ritual lainnya. Ritual ini dilaksanakan dengan waktu dan tatacara tertentu yang telah ditetapkan oleh leluhur mereka. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007)
Hajat Sasih merupakan titik kulminasi dari rasa tunduk dan patuh kepada leluhur mereka. Masyarakat Kampung Naga mengaku berasal dari cikal bakal atau nenek moyang yang sama, yaitu seorang tokoh yang dikenal dengan nama Sembah Dalem Eyang Singaparana. Tokoh inilah yang menurunkan tata kehidupan dan tata kelakuan yang sampai saat ini dianut dan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Kampung Naga atau disebut juga Seuweu Putu Naga. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 58)
Hajat Sasih hanya boleh diikuti oleh kaum pria. Dengan dipimpin oleh Kuncen Kampung Naga, acara ini dimulai sejak pagi hari, tepatnya sejak pukul 09.00 WIB. dan berakhir menjelang shalat dzuhur.

Sejarah pelaksanaan ritual

Asal-usul atau sejarah masyarakat Kampung Naga khususnya ritual Hajat Sasih sangat boleh jadi akan terkuak jika sejarah nenek moyang mereka yang tertulis diatas daun lontar dan salah satu piagamnya yang terbuat dari tembaga masih utuh. Lempeng yang terbuat dari tembaga sebenarnya bukan lempeng yang asli. Lempeng asli milik masyarakat Kampung Naga terbuat dari kuningan. Lempeng tersebut pada tahun 1922 dipinjam oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) dan tidak dikembalikan. Yang dikembalikan hanya duplikatnya yang terbuat dari tembaga. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal . 30)
Benda-benda pusaka dan keramat yang merupakan tulisan dan gambaran sejarah dari leluhur dan asal usulnya pada tahun 1956 habis tidak tersisa karena terbakar. Kampung Naga dibumihaguskan oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Pada saat itu, Tasikmalaya dan beberapa daerah lainnya di Priangan Timur pernah dijadikan basis DI/ TII di daerah Jawa Barat.
Termasuk yang dibakar oleh gerombolan tersebut adalah Bumi Ageung. Rumah yang notabenenya dipakai sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka juga ikut musnah. Benda-benda pusaka yang saat ini masih ada hanyalah beberapa benda yang tidak dapat terbakar dan beberapa tulisan yang pada waktu Kampung Naga dibumihanguskan disimpan oleh pemangku adat sanaga. Oleh karena itulah sangat sukar mengungkap bagaimana sejarah asli Kampung Naga khususnya sejarah pelaksanaan ritual Hajat Sasih. . (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi)
Akan tetapi, secara garis besar ritual Hajat Sasih merupakan titah langsung dari Sembah Dalem Eyang Singaparana. Sembah Dalem menuliskan segala aturan mengenai ritual ini. Hal ini dimaksudkan agar anak cucu keturunannya bisa mengingat dan senantiasa melaksanakan ritual tersebut. Selain itu, tatacara pelaksanaan ritual dituliskan agar tidak terjadi pelanggaran atau penyelewengan ajaran adat yang diajarkan olehnya. Tidak diketahui sejak kapan ritual ini dilaksanakan akan tetapi masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa ritual ini telah berlaku selama ratusan tahun sejak meninggalnya Sembah Dalem Eyang Singaparana. . (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi)

Waktu pelaksanaan ritual
Selain mengatur tatacara pelaksanaan ritual, Sembah Dalem Eyang Singaparana juga mengatur waktu-waktu khusus pelaksanaan ritual ini. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Kampung Naga dan Sanaga tidak sembarangan dalam melaksanakanya.
Hajat Sasih merupakan upacara ritual yang agenda pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung sebanyak enam kali dalam setahun, dengan waktu yang sudah ditetapkan dan tidak boleh diubah. Waktu-waktu tersebut antara lain:
Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27 atau 28.
Bulan Maulud (Rabi’ul Awwal) pada tanggal 12, 13, atau 14.
Bulan Rewah (Sya’ban) pada tanggal 16, 17 atau 18.
Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, atau 16.
Bulan Rayagung (Dzulhijjah) pada tanggal 10, 11, atau 12. (. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal. 83)
Dalam satu tahun, enam kali ritual dilaksanakan. Tiga hari dalam setiap bulan diatas dimaksudkan sebagai alternatif. Mereka dapat memilih berdasarkan waktu yang lebih memungkinkan untuk melaksakannya. Hajat Sasih tidak boleh dilaksanakan bersamaan dengan ritual Menyepi, pada setiap hari selasa, rabu dan sabtu. Oleh karena itu, disediakan alternatif sehingga masyarakat Kampung Naga melaksanakan salah satu ritual dengan tidak melanggar ritual adat yang lainnya.
Dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga, nyepi merupakan waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri. Oleh sebab itu, pelaksanaanya tidak boleh terganggu oleh ritual-ritual lain. Hal ini berlaku bahkan untuk pelaksanaan upacara ritual yang secara tetap diselenggarakan, termasuk didalamnya ritual Hajat Sasih. Jika waktunya bersamaan dengan waktu melaksanakan ritual nyepi, maka pelaksanaan upacara ritual tersebut harus dimajukan atau dimundurkan agar tidak berbenturan.
Dengan melakukan ritual ini, masyarakat Kampung Naga berusaha mengembalikan dan memusatkan kekuatan-kekuatan yang hilang dalam dirinya karena jiwa mereka sudah tercemar oleh anasir  buruk atau pengaruh luar. Dengan cara ini pula mereka berusaha mengeluarkan isi jiwanya yang kotor dan berusaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. . (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal 23)
Berbeda dengan konsep nyepi yang dimiliki oleh kaum Hindu Bali, selama melakukan ritual nyepi, masyarakat Kampung Naga tetap melaksanakan rutinitas keseharian mereka termasuk bekerja. Selama menjalankan nyepi, mereka dilarang melakukan beberapa hal yang dianggap dapat mencemari niat. Salah satu dari pantangan tersebut adalah dilarang menceritakan sesuatu apapun yang berkenaan dengan adat istiadat mereka di waktu itu.

Tatacara dan tahapan ritual Hajat Sasih
Sebagai tahap awal pelaksanaan ritual Hajat Sasih, secara bergotong-royong masyarakat Kampung Naga membersihkan area perkampungan. Setiap pojok rumah atau belokan yang memungkinkan bertumpuknya sampah, dibuat dan dipasangkan tempat sampah yang terbuat dari bambu. Begitu pula di sepanjang perjalanan menuju perkampungan. Acara pembersihan kawasan perkampungan ini dilakukan sehari atau dua hari menjelang Hajat Sasih dilaksanakan.
Selain sebagai bentuk kesadaran masyarakat Kampung Naga dalam menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal mereka, hal ini juga menjadi sebuah bentuk ketaatan mereka kepada aturan adat yang mengharuskan mereka menjaga lingkungan.
Secara garis besar, upacara ritual Hajat Sasih diawali dengan ritual ‘beberesih’ yang dilakukan dengan mandi bersama di Sungai Ciwulan, kemudian dilanjutkan dengan berziarah ke makam leluhur mereka. Selesai berziarah, acara diakhiri dengan  melakukan do’a syukur bersama.
Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa yang akan mereka ziarahi merupakan makam leluhur mereka yaitu Sembah Dalem Eyang Singaparana. Makam tersebut terdapat di Hutan Keramat yang tidak bisa sembarangan dimasuki oleh siapapun, kecuali atas seizin Kuncen. Selain makam Sembah Dalem Eyang Singaparna, di Hutan tersebut masih terdapat dua makam lain yang dipercaya mereka sebagai makam dari pengawal setia Sembah Dalem Eyang Singaparana.
Untuk mengunjungi leluhur mereka (dengan melaksanakan Hajat Sasih), para peserta harus memenuhi beberapa ketentuan, diantaranya adalah:
Pertama, mendapatkan izin terlebih dahulu dari Kuncen sebagai pemangku adat di Kampung Naga (bagi masyarakat luar, yang bukan masyarakat Naga dan Sanaga). Keputusan boleh atau tidaknya mengikuti ritual ini ada di tangan Kuncen.
Kedua, ziarah hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dewasa dan belum pernah melaksanakan Ibadah Haji. Dalam hal ini, masyarakat Kampung Naga memiliki pemahaman bahwa orang yang pernah melaksanakan Ibadah Haji telah melaksanakan ziarah yang lebih utama dari segala ziarah. Oleh karena itu, terlarang melaksanakan ziarah kepada sesuatu yang lebih rendah dari ziarah ke Tanah Suci.
Ketiga, fisik dan hati dari peserta ziarah haruslah bersih. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan ziarah, para peserta diharuskan beberesih terlebih dahulu dengan mandi di Sungai Ciwulan secara bersamaan. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi)
Adapun secara rinci tahapan dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih antara lain:
1.    Beberesih
Beberesih artinya membersihkan diri dengan media mandi. Pengertian ini mengandung makna bukan hanya membersihkan jasmani (fisik) tetapi termasuk didalamnya juga membersihkan rohani (jiwa) dari berbagai anasir yang menempel dan mengotori tubuh dan jiwa peserta ritual. Proses kegiatannya ditandai dengan isyarat melalui bunyi kentongan atau kohkol di Masjid kampung.
Ritual beberesih diawali oleh Kuncen yang mendahului turun ke Sungai Ciwulan. Tangannya menggenggam sebuku bambu berisi cairan leuleueur. Pada salah satu sisi bagian atas buku bambu tersebut terdapat lubang kecil, tempat memasukkan dan mengeluarkan cairan leuleueur.
Leuleueur secara harfiah berarti pelicin. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal. 85) Cairan leuleueur merupakan ramuan khusus yang terbuat dari akar pohon kapirit dan honje. (Tidak ada penjelasan yang jelas mengenai pohon kapirit. Akan tetapi pohon honje dalam bahasa Indonseia disebut dengan pohon kecombrang. Kecombrang merupakan tumbuhan rumpun yang berakar rimpang (bercabang-cabang) dengan buah berbentuk bulat seperti nanas serta memiliki nama latin Nicola Hemispaerica (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 460)) Air ramuan tersebut kemudian dibagikan kepada para peserta beberesih sebagai pengganti sabun dan shampo. Jika masih tersisa, air ramuan tersebut kemudian dibasuhkan ke tubuh masing-masing lalu dibilas dengan cara berendam selama beberapa saat di Sungai Ciwulan.
Selesai beberesih, para peserta lalu berwudu dan kembali ke rumah masing-masing. Tubuh yang masih basah tidak boleh dikeringkan dengan handuk, akan tetapi harus dibiarkan mengering dengan sendirinya.

2.    Memakai pakaian adat
Dalam keadaan fisik dan jiwa yang sudah bersih, para peserta ritual kemudian menggunakan pakaian khas atau pakaian adat warga Kampung Naga yang juga bersih. Pakaian adat yang ada di Kampung Naga terdiri dari dua, yaitu pakaian adat yang dipakai sehari-hari dan pakaian adat yang khusus dipakai saat ada upacara ritual. Pakaian adat ini memiliki empat unsur yang dapat dibedakan secara jelas dibandingkan dengan masyarakat umumnya. Diantaranya adalah baju kampret (mirip jubah) berwarna putih atau hitam, totopong atau ikat kepala dari kain batik, sarung poleng (pelekat) atau calana komprang (mirip dengan celana kolor panjang), berwarna putih, biru atau hitam.
Bentuk pakaian yang dipakai ketika Hajat Sasih menyerupai jubah berlengan panjang. Jubah tersebut mirip dengan jubah yang dipakai oleh mayarakat Arab, hanya saja jubah Kampung Naga tidak memiliki kancing. Untuk merapatkannya, dalam jubah tersebut terdapat seutas tali dari kain. Sebagian besar warna pakaian tersebut adalah putih. Akan tetapi ada pula yang berwarna biru telur asin. Selain itu, mereka juga menggunakan tutup kepala yang disebut totopong, atau iket khas masyarakat Kampung Naga. Mereka juga memakai sarung poleng tanpa celana dalam, tanpa alas kaki dan tanpa perhiasan apapun terutama dari logam.
Setelah lengkap, mereka menuju Masjid dan menunggu Kuncen. Sebelum masuk Masjid, mereka mencuci kaki terlebih dahulu dan masuk kedalamnya sembari menganggukkan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena Masjid merupakan tempat beribadah dan suci. Lalu masing-masing peserta mengambil sapu lidi (nantinya akan digunakan para peserta ritual untuk membersihkan makam) yang telah tersedia di masjid dan duduk sambil memegangnya. (Upacara Adat di Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 2007) Untuk menjaga kesakralan, sebagian besar peserta berdiam diri tanpa berbicara. Namun jika dianggap perlu, mereka berbicara dengan sangat perlahan.
Berbeda dengan Kuncen, Lebe dan Punduh adat. Selesai melakukan beberesih dan memakai pakaian adat, mereka tidak pergi ke Masjid melainkan ke Bumi Ageung. Kuncen amitan (minta restu) kepada penghuni Bumi Ageung. Disana mereka menyiapkan lamareun (sesajen yang telah diberi mantra) dan parupuyan (tempat membakar kemenyan) untuk dibawa ke makam. Lamareun terdiri atas kukus (dupa, kemenyan), daun sirih, buah pinang, kapur, gambir, bako tampang (tembakau), dan daun saga atau daun cae. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 60)
Setelah semua siap, mereka kemudian keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parupuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam Masjid keluar dan mengikuti Kuncen, Lebe dan Punduh satu persatu. Mereka berjalan rapi secara beriringan sambil membawa sapu lidi.
Sesaimpainya di pintu gerbang makam (yang ditandai oleh batu besar), masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Sembah Dalem Eyang Singaparana. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalay)

3.    “Unjuk-unjuk” dan membersihkan makam
Setibanya di gerbang makam, selain Kuncen tidak ada yang masuk kedalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parupuyan kepada Kuncen, mereka lalu keluar dan tinggal bersama para peserta ritual yang lain. Setelah itu, Kuncen lalu membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin) kepada Sembah Dalem Eyang Singaparna. Di depan makam, dengan suara yang halus, Kuncen melakukan unjuk-unjuk, memberitahu bahwa Seuweu-siwi Naga (anak cucu keturunan Kampung Naga) telah berkumpul dan menyampaikan maksud serta tujuannya menyelenggarakan ritual Hajat Sasih. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007Unjuk-unjuk) dilakukan Kuncen sambil menghadap ke sebelah barat, ke arah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Selain menyampaikan niat ziarah, Kuncen juga menyampaikan sembah hormat dan permohonan maaf jika seandainya terdapat adat istiadat yang terlupakan atau sudah dilanggar.
Selesai melakukan unjuk-unjuk, selanjutnya Kuncen mempersilahkan para peserta ritual untuk mulai membersihkan makam dan kawasan sekitarnya dengan menggunakan sapu lidi yang dibawa masing-masing peserta. Bukan hanya sampah kering dedaunan yang jatuh, rumput-rumput liar yang tumbuh bebas di kawasan makam juga ikut dibersihkan.
Selesai membersihkan makam, Kuncen dan diikuti para peserta kemudian duduk bersila diatas tanah mengelilingi makam. Secara bergiliran, mereka menyampaikan do’a dan niat mereka masing-masing. Do’a disampaikan dalam hati masing-masing untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, berkah serta maksud dan kehendak masing-masing peserta.
Setelah para peserta selesai berdo’a dan menyampaikan niat masing-masing, Kuncen lalu mempersilahkan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an dan diakhiri dengan do’a bersama.
Selesai berdo’a, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan Kuncen. Mereka menghampiri Kuncen dengan cara berjalan ngengsod atau ngagesor (yakni menggunakan kekuatan tangan sebagai penyangga sebagai pengganti kekuatan kaki untuk bergerak). Setelah bersalaman para peserta keluar dari kawasan makam, diikuti oleh Punduh, Lebe dan terakhir Kuncen. Mereka berjalan rapi dan beriringan kembali ke perkampungan. Parupuyan dan sapu lidi disimpan di para (langit-langit) Masjid. Sebelum disimpan, sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di Sungai Ciwulan. Sementara lamareun disimpan di Bumi Ageung.

4.    Membersihkan Tempat Shalat Pertama
Setelah sebagian anggota masyarakat yang melaksanakan ritual Hajat Sasih selesai berdo’a, secara berangsur mereka menuruni bukit dan kembali ke perkampungan. Mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, akan tetapi mereka langsung menuju sebuah tempat berpagar di kawasan perumahan. Tempat ini diyakini oleh masyarakat Kampung Naga merupakan tempat dimana pertama kali shalat dilaksanakan. (Rismana, Ketua RT Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Ritual di tempat ini tidak dipimpin langsung oleh Kuncen. Hal ini dikarenakan Kuncen masih melaksanakan ritual di makam keramat. Yang memimpin ritual disini adalah wakil yang dipercaya Kuncen.
Karena pagar tinggi yang mengelilingi tempat tersebut tidak memiliki pintu, cara masuk satu-satunya adalah dengan menggunakan tangga. Sikap tenang dan tidak gaduh masih terjaga di tempat ini. Sesampainya di depan batu, perwakilan Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk. Selesai melakukannya, barulah acara pembersihan tempat tersebut dimulai. Yang bisa masuk ke tempat tersebut hanya sebanyak empat atau lima orang. Mereka membersihkan bagian dalam tempat tersebut. Sementara masyarakat lain yang tidak masuk, mereka membersihkan bagian luar baik dari ranting-ranting pohon yang telah kering dan patah, daun-daun kering maupun rumput-rumput kecil yang mulai bertumbuhan.
Selesai membersihkan tempat tersebut, semua orang yang masuk kembali keluar melalui tangga yang telah disiapkan. Terakhir, wakil Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk dan berdo’a. Selesai itu, barulah dia keluar.
Karena tidak semua peserta ritual mengikuti ritual ini, mereka yang ikut membersihkan tempat tersebut lalu menuju sungai Ciwulan dan membersihkan sapu lidi yang mereka bawa disana. Barulah mereka menuju Masjid dan menunggu kehadiran Kuncen disana.

5.    Ritual akhir
Setelah selesai melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah, para wanita Kampung Naga membawa nasi tumpeng beserta lauk pauknya ke Masjid untuk kemudian dido’akan oleh Kuncen dalam prosesi Hajat Sasih selanjutnya. Prosesi ini diawali dengan kedatangan wanita patunggon. Wanita patunggon adalah wanita yang bertugas menjadi penunggu Bumi Ageung. Mereka berpakaian seperti para penari Bali, separuh tubuhnya mulai dari bagian atas dada dibalut kain. Kedua wanita tersebut mengantarkan air yang tersimpan di dalam kendi. Mereka bergerak dengan cara ngengsod atau ngagesor menuju ke arah Kuncen.
Setibanya dihadapan Kuncen dan Sesepuh masyarakat Kampung Naga, wanita patunggon menyampaikan sembah. Mereka pamit lalu kembali ke tempat semula dengan cara yang sama, seusai melakukan unjuk-unjuk kepada Kuncen. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal. 88)
Setelah kedua wanita tersebut keluar, barulah Kuncen berkumur-kumur dengan air kendi yang dibawa kedua wanita tadi. Setelah itu Kuncen membakar kemenyan, lalu ia mengucapkan ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya Lebe membacakan do’anya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan do’a diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan surat Al Fatihah.

6.    Murak tumpeng
Suasana khidmat yang menyelimuti semua peserta di dalam Masjid berlangsung untuk beberapa saat. Tetapi diluar, puluhan wanita telah bersiap menunggu upacara tersebut usai. Mereka menunggu boboko (tempat menyimpan nasi yang terbuat dari bambu) yang telah mereka simpan di dalam Masjid. Boboko tersebut berisi tumpeng (nasi kuning) beserta lauk pauknya yang beragam tergantung selera dan kemampuan masing-masing keluarga.
Ketika pembacaan do’a selesai, matahari telah tergelincir dari puncaknya. Boboko berisi nasi tumpeng dan lauk pauknya segera dibagikan kepada pemiliknya masing-masing. Setiap perempuan mengambilnya dengan tertib dan teratur, lalu membawanya pulang.
Nasi tumpeng tersebut kemudian dijadikan santapan makan siang bersama seisi rumah. Mereka menyebutnya murak tumpeng. Berakhirlah runtutan upacara ritual Hajat Sasih.
Bersambung…….

Hajat Sasih; Ritual Terbesar dan Tersakral di Kampung Naga
Oleh: Yogi Hendra Kusnendar S.Sos.I

merupakan serpihan-serpihan tulisan
dari skripsi penulis berjudul:

Da’wah Dan Tradisi Lokal
 (Studi Hajat Sasih Pada Masyarakat Adat Kampung Naga Tasikmalaya dan Strategi Da’wah Terhadap Masyarakatnya)

Bangunan Fisik di Kampung Naga

Tulisan Keempat


a.    Perumahan
Rumah adat masyarakat Kampung Naga memiliki keunikan yang khas. Jenis rumahnya adalah rumah panggung dengan ketinggian kolong sekitar 40-50 sentimeter.  Bentuk dan bahan bangunan dasar rumah masyarakat Kampung Naga adalah empat persegi panjang, dengan atap memanjang (dalam bahasa Sunda dikenal dengan imah suhunan panjang). Pada kedua ujung atap terdapat suatu model silang atau cagak yang menyerupai sepasang tanduk. Cagak tersebut terbuat dari batangan bambu atau kayu yang dibungkus ijuk. Posisi atau orientasi rumah seragam, yaitu memanjang arah barat timur, sedangkan bagian muka rumah menghadap ke arah selatan atau utara.  

Pemangku Adat di Kampung Naga

Tulisan Ketiga

Setiap masyarakat adat selalu mempunyai dua pemimpin. Pemimpin pertama sering disebut pemimpin formal, merupakan perpanjangan birokrasi. Sedangkan pemimpin yang kedua adalah Kepala Adat. Karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan birokrasi, kepala adat sering disebut pemimpin nonformal. 

Gambaran Kampung Naga

Tulisan Pertama


Gambaran Geografis
Secara umum, Kampung Naga terletak di lembah yang sangat subur. Kampung ini dihuni oleh masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Jarak yang harus ditempuh untuk dapat sampai kesana, dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya adalah 26 kilometer.

Untuk menuju ke perkampungan, dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda: sengked) sampai ke tepi Sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dan dengan jarak kira-kira 500 meter. Setelah itu berjalan kaki melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga. (Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.com/ 23 Maret 2007)

Batas wilayah Kampung Naga secara geografis adalah sebelah Barat berbatasan dengan hutan keramat (hal ini dikarenakan di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga), sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan (merupakan sungai yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut) dan hutan larangan.

Dengan tofografi wilayahnya yang merupakan daerah perbukitan, permukaan tanah di bagian barat merupakan kondisi tanah yang memiliki kontur lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan tanah di bagian timur. Dalam  masyarakat Sunda, kondisi permukaan tanah seperti itu dinamakan taneuh behe ngetan. Artinya, kondisi permukaan tanah yang memiliki kontur lebih miring ke arah timur. Berdasarkan kepercayaan, sebuah daerah yang memiliki kemiringan tanah seperti itu merupakan tempat ideal, baik untuk lahan pemukiman maupun pertanian. Secara rasional, kepercayaan semacam itu dapat dipahami, karena daerah yang memiliki kemiringan tanah ke arah timur akan memperoleh sinar matahari pagi yang lebih banyak. Hal demikian memungkinkan penghuninya lebih sehat karena pengaruh sinar ultraviolet di pagi hari yang memadai. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, 2005, hal.19)


Gambaran Demografis
Dengan luas daerah yang tidak lebih dari 10,5 Ha., anggota masyarakat Kampung Naga yang tinggal di dalam perkampungan tidaklah banyak. Jumlah data resmi Kantor Kepala Desa Neglasari pada tahun 2007, anggota masyarakat Kampung Naga adalah sekitar 320 orang. Terdiri dari 156 jiwa penduduk laki-laki dan 164 jiwa penduduk perempuan. Kampung Naga merupakan perkampungan kecil yang hanya terdiri dari satu Rukun Tetangga (RT), dengan membawahi 108 kepala keluarga. Seluruh anggota masyarakat Kampung Naga merupakan penganut agama Islam. (A. Kurnia, Kepala Desa Neglasari, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007)

Mengenai latar belakang pendidikan yang dienyam masyarakat Kampung Naga tidaklah  terdata secara. Akan tetapi secara umum, masyarakat Kampung Naga hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD), walaupun ada sebagian sanaga (masih keturunan Kampung Naga tetapi tinggal di luar wilayah kampung tersebut) yang mengenyam pendidikan lebih tinggi bahkan hingga perguruan tinggi. ( Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007)

Bersambung…….

Gambaran Kampung Naga
Oleh: Yogi Hendra Kusnendar S.Sos.I

merupakan serpihan-serpihan tulisan
dari skripsi penulis berjudul:

Da’wah Dan Tradisi Lokal
 (Studi Hajat Sasih Pada Masyarakat Adat Kampung Naga Tasikmalaya dan Strategi Da’wah Terhadap Masyarakatnya)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...