Friday, June 8, 2012

Epilog; Kampung Naga, Desa Adat Desa Wisata

Sampai di Kampung Naga, sekilas kita akan merasakan kembali berada pada zaman dimana manusia masih murni tanpa tersentuh hingar bingar modernisasi. Terletak di kota Tasikmalaya, kampung ini merupakan salah satu perkampungan yang sangat erat memegang tradisi mereka dari zaman ke zaman. Utuh dan menyatu tak tergerus lekangnya waktu.

Berjalan menuruni ratusan anak tangga (dalam bahasa setempat dinamakan sengked) tidaklah terasa melelahkan. Keindahan dan kemurian alam pedesaan yang menyapa, kesejukan serta keramahan penduduk akan membuat kita  merasa nyaman dan betah berlama-lama disana. Keunikan dan keragaman budaya yang mereka miliki sungguh akan membuat kita terpana, bahwa disana ada kehidupan damai nan indah tanpa terbelah oleh perbedaan materi yang melimpah.

Dalam hal pengetahuan dan pemikiran mereka dalam menyikapi alam raya sungguh jauh dari perkiraan bahwa mereka adalah masyarakat ‘primitif nan kampungan’. Kesadaran mereka dalam menjaga alam sekitar, sungguh menakjubkan! Akan ditemukan sebuah masarakat yang sangat romantis memperlakukan alam sekitar laiknya seseorang terhadap kekasihnya. Tidak ada niat merusak  sedikitpun melainkan berusaha menjaga dan merawatnya semampu mereka.

Penataan lingkungan yang apik, dengan mempertimbangkan estetika dan pemenuhan kebutuhan akan lingkungan sehat, telah lama mereka terapkan. Sesampainya disana, kita akan disambut oleh senyuman khas masyarakat pedesaan dengan pemahaman  yang jauh lebih maju dibandingkan masyarakat perkotaan. Penggunaan logika yang sungguh menakjubkan, tertera jelas dalam kehidupan keseharian mereka.

Mereka mempunyai satu kata yang sangat ajaib yang mampu mencegah mereka dari melakukan pelanggaran dalam kehidupan bermasyarakat. Kata tersebut sudah cukup untuk membuat mereka takut, tunduk dan patuh kepada adat yang berlaku disana. Kata ajaib tersebut menjadi pengikat dan pengatur masyarakat supaya tetap menjaga aturan adat yang mereka pegang teguh. Satu kata itu adalah kata tabu (penduduk setempat menyebutnya dengan kata pamali red.). Ketika kata tersebut terucap, selebihnya siapapun tidak akan ada yang berani membantah. Percaya tidak percaya itulah realita.

Tulisan ini hanya merupakan epilog dari tulisan-tulisan lengkap penulis yang tertuang khusus dalam Skripsi S1 mengenai da’wah di Kampung Naga. Selamat membaca.

0 comments:

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Yogi Hendra Kusnendar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...