Friday, June 8, 2012

Khitanan di Kampung Naga

A.    Gusaran
Gusaran mempunyai arti yang sama dengan khitanan. Upacara ini biasa dilaksanakan pada bulan rayagung (dzulhijjah). Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa bulan ini merupakan bulan baik untuk melaksanakan acara-acara ritual. Pelaksanaan gusaran bukan hanya diperuntukan bagi anak laki-laki saja, melainkan juga anak perempuan. Dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga, seorang anak laki-laki yang akan dikhitan harus didampingi oleh seorang anak perempuan. Anak perempuan merupakan bayangan akan laki-laki, karena hidup manusia saling berpasangan.
Tahapan pelaksanaan upacara gusaran antara lain:

1)    Beberesih
Sebagaimana para peserta yang akan melaksanakan ritual Hajat Sasih, para peserta upacara gusaran-pun diwajibkan melaksanakannya sebelum ritual selanjutnya dijalankan. Ritual beberesih dilaksanakan di Sungai Ciwulan, dengan peserta yaitu anak yang akan dikhitan bersama ayahnya.

Inti dari pelaksanaan beberesih untuk ritual gusaran tidak berbeda dengan beberesih untuk ritual Hajat Sasih. Upacara tersebut dipimpin langsung oleh kuncen yang membawa cairan leuleueur (cairan pengganti sabun mandi), kemudian membagikannya kepada para peserta ritual. Setelah masing-masing mendapatkan cairan tersebut, secara serentak mereka membilaskannya ke rambut dan ke sekujur tubuh kemudian dicuci dengan cara berendam di Sungai Ciwulan.

Setelah ritual tersebut selesai, para peserta kemudian kembali ke rumah mereka masing-masing dan mengganti pakaian anak-anak mereka dengan pakaian rapi (biasanya baju taqwa), kemudian menuju ke Masjid.

Ketika tiba saatnya acara dimulai, kuncen yang duduk di dekat mimbar menyampaikan kata sambutan, dilanjutkan dengan mendatangi setiap anak peserta dari acara gusaran. Secara bergiliran, kuncen menyalami anak-anak tersebut dan orang tua masing-masing seraya memberikan nasihat dan doa singkat. Sebelum memulai acara gusaran, kembali kuncen, lebe dan sesepuh kampung menyampaikan do’a mereka.

Ritual pertama ini diakhiri dengan makan bersama. Masing-masing orang tua dan anak mereka mendapatkan bagian hidangan yang ditaruh diatas takir. Takir adalah tempat menyimpan makanan yang terbuat dari daun enau yang dianyam sedemikian rupa sehingga menyerupai mangkuk besar.

b)    Diarak keliling kampung
Setelah selesai melaksanakan ritual pertama, acara selanjutnya yaitu mengarak para peserta gusaran keliling kampung. Acara ini dimulai ketika para pemuka adat dan sesepuh Kampung Naga berjalan beriringan keluar dari masjid. Dibelakang mereka beriringan pula dengan rapi para orang tua dari peserta acara gusaran dengan menggendong anak-anak mereka diatas pundak. Sementara di depan masjid, beberapa penduduk lainnya mulai memainkan alat-alat kesenian khas masyarakat Kampung Naga yang terdiri dari angklung dan terbang Naga. Kuncen dan sesepuh Kampung Naga yang berada pada barisan paling depan, berjalan dengan langkah yang tidak terlalu cepat, diiringi oleh dua orang wanita patunggon yang masing-masing membawa sesajen.

c)    Ngala beas
Ngala beas, secara harfiah dapat diartikan mengambil beras. Upacara tersebut dilaksanakan setelah seluruh rombongan kembali ke tempat semula. Di tengah lapang tersebut, kuncen dan rombongan disambut oleh lima wanita setengah baya yang telah lama menunggu. Mereka menumbuk-numbukkan alu ke dalam lesung, tak ubahnya seperti orang yang sedang menumbuk padi, menandakan upacara ngala beas  siap dilaksanakan.

Perlengkapan upacara tersebut terdiri dari delapan helai kain kaffan atau boeh, tiga helai kain wanita yang disebut samping kebat, tiga helai kain ikat kepala atau iket dan tamaya. Didalam boboko yang dibawa oleh dua orang wanita patunggon terdapat beras putih atau beas bodas dan beras ketan atau beas ketan. Kelak, setelah beras tersebut ditanak, nasinya kemudian dibagikan kepada anak-anak yang akan dikhitan. Sambil berjongkok menghadap lesung, kuncen membacakan doá dengan disaksikan sesepuh masyarakat Kampung Naga dan para peserta lainnya.

d)    Acara puncak dan berebut sawer
Puncak upacara gusaran pada hari pertama diakhiri dengan berkumpul kembali di ruang depan Masjid. Satu persatu anak dipanggil seraya digendong oleh ibunya masing-masing menghampiri seorang paraji. Paraji  sama artinya dengan dukun beranak atau dukun khitan di Kampung Naga, biasanya berjenis kelamin perempuan. Paraji kemudian membasuhkan tangan kirinya ke air beras bercampur ramuan daun jawer kotok, panglai, bawang bodas, tektek  atau daunsirih, dan telur ayam kampung yang disimpan dalam ember plastik berwarna hitam.

Air tersebut kemudian dibasuhkan pada dahi peserta gusaran. Lalu denga pisau belati, paraji memberihkan bulu-bulu halus di dahi para peserta. Acara tersebut diiringi dengan upacara bela. Di luar, tepat dihalaman Masjid, beberapa orang laki-lakimemegangi ayam lalu menyembelihnya seraya berteriak “belaaaaa!”. Anak anak yang sudah dibersihkan bulu-bulu halusnya kemudian dihias kembali oleh pembantu paraji seraya menyodorkan uang logam buatan zaman belanda untuk digigit para peserta.

Anak-anak yang sudah megikuti prosesi tersebut kemudian diarak kembali berkeliling Kampung Naga, mengikuti upacara lekasan. Sebelum kembali ke rumah masing-masing, acara terakhir yang dialksanakan pada hari pertama adalah pelemparan sawer. Acara sawer  ini diiringi oleh bait-bait kidung yang berisi nasihat-nasihat tentang hidup. Sesekali setelah satu bait kidung selesai dilantunkan, dilemparkanlah beras bercampur irisan kunir, permen dan uang receh ke tengah-tengah kerumunan. Sementara para penonton sibuk berebut permen dan uang receh yang dilemparkan ke arah mereka.

e)    Wawarian
Pelaksanaan khitanan yang sesungguhnya dilaksanakan pada pagi hari berikutnya. Bagi anak laki-laki, khitanan mereka menggunakan sebuah pisau khusus sementara bagi anak perempuan menggunakan jarum.

Setelah melewati seluruh prosesi upacara yang sangat panjang, upacara gusaran ditutup dengan upacara wawarian. Melalui upacara tersebut, sampah dan sisa-sisa kegiatan lainnya berupa limbah rumah tangga dikumpulkan  di tempat penanmpungan lalu dibakar. Maksudnya, melalui wawarian, mereka berusaha menjaga kebersihan lingkungannya.


Bersambung…….

Tulisan ini merupakan serpihan-serpihan tulisan
dari skripsi penulis berjudul:

Da’wah Dan Tradisi Lokal
 (Studi Hajat Sasih Pada Masyarakat Adat Kampung Naga, Tasikmalaya dan Strategi Da’wah Terhadap Masyarakatnya)

0 comments:

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Yogi Hendra Kusnendar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...