Monday, July 30, 2012

Al-Qur'an dan Mu'jizat Keilmuan

Seputar Istilah Mu’jizat
Dalam pengertian umum, mu’jizat merupakan isim fâ’iI dari a’jaza  yu’jizu i’jâzan artinya sesuatu yang dapat membuktikan kelemahan. Menurut Al Qathân dalam mabâhits fî‘ulumil Qur’an disebutkan, yang disebut I’jâz adalah tampaknya kebenaran Nabi saw. dalam pengakuannya sebagai seorang pengemban risalah dengan membuktikan kelemahan bangsa Arab untuk menghadapi mu’jizat yang abadi, yaitu Al Qur’anul Karim. Dengan makna itu, maka muncullah definisi istilah yang popular sebagai berikut : “ Sesuatu hal yang luar biasa (Amrun Khâriqun) dengan disertai tantangan dan selamat dari perlawanan “ (al Qathân, 1420, hal. 258-259).

Sisi perbedaan dengan mu’jizat yang diberikan kepada nabi-nabi lain, adalah keabadian mu’jizat itu senantiasa kekal sepanjang zaman, sementara mu’jizat nabi-nabi lainnya lenyap seiring hilangnya penerima mu’jizat. Hal ini dikarenakan risalah kenabian nabi Muhammad saw bersifat menyeluruh, sedangkan nabi-nabi lain bersifat khusus ( Muhammad Bahr Isma’il dalam Dirâsat fî ‘ulûmil Qur’ân, 1411, hal 394).

Dalam bahasa as Suyuthi dalam al- Itqân, mu’jizat yang sampai kepada nabi-nabi lain bersifat empirik fisik (hissiyyah), sedangkan mu’jizat yang sampai kepada nabi Muhammad  saw. bersifat ‘aqliyah atau memerlukan pendalaman akal (bashîrah). (As Suyuthi, 1418, hal, 3-4).

Pandangan-pandangan tersebut, didukung hadits nabi saw. : “ Tidak seorang nabipun yang diutus, melainkan dikaruniakan kepadanya bukti-bukti kenabian (yang berlaku terbatas sesuai kondisi kaumnya) , sedangkan bukti kenabian yang disampaikan kepadaku adalah wahyu dari Allah yang diturunkan kepadaku (berlaku terus menerus tak terbatas waktu dan tempat )” (HR. Al Bukhari, no.4696 dan Muslim, no. 152).

Ada banyak keistimewaan dalam Al Qur’an, dimana seseorang tidak akan mampu memahaminya, melainkan menggunakan nalar akalnya, mengkaji dan meneliti serta merenungkannya. Persinggungannya dengan akal, al Qur’an senantiasa sesuai dengan situasi dan kondisi manapun, kekal sepanjang zaman, seiring dengan berjalannya da’wah Islamiyah. Demikian komentar Fathimah Isma’il Muhammad Isma’il dalam Al Qur’ân wan Nazharul ‘Aqli, hal.192. Atau dalam bahasa Muhammad al Ghazali dalam Kaifa Nata’âmal ma’al Qur’ân bahwa mu’jizat al Qur’an bersifat mujarridah mustamirrah wa daimah (artinya lintas zaman, sinambung dan tetap). (Muhammad Ghazali, 1413, hal.140).

Dengan demikian, sangatlah wajar apabila Ibnu Taimiyyah mengatakan “Huwa Kâfin fid Da’wah wal Bayân wa huwa Kâfin fil Hujaj wal Burhân “ (artinya : kemu’jizatan al Qura’an cukup untuk dijadikan pijakan dalam da’wah, penjelasan, argument dan penerangan). (lihat Fathimah Isma’il, hal. 192)

Mu’jizat Keilmuan Dalam Al Qur’an
Dalam  pandangan  mayoritas ulama, mu’jizat keilmuan dalam al Qur’an minimalnya ada empat aspek yang sangat jelas, yaitu aspek kebahasaan (al-I’jâz al-lughawy), aspek ilmiyah (al-I’jâz al ‘Ilmy), aspek hukum (al-I’jâz at-Tasyrî’) dan aspek pemberitaan masalah ghaib (I’jâzul Qur’ân bistimâlihil Ghaib).
Nampaknya, para ulama klasik lebih tertarik dalam  memaparkan kemu’jizatan al Qur’an dalam aspek kebahasaan, hukum dan pemberitaan ghaib.

Model pendekatan tersebut tidaklah keliru, namun ketika berinteraksi dengan al Qur’an (dalam konteks kekinian), alangkah baiknya apabila aspek Ilmiyah (I’jâz al-Ilmy) lebih mendapat perhatian agar mu’jizat keilmuan benar-benar mendapatkan tempat yang sepadan sesuai dengan fithrah zaman, sehingga pesan-pesan al Qur’an yang sangat menjunjung tinggi peradaban dan  keilmuan serta perhatian yang sangat dalam  mengenai pemberdayaan alam yang menyebabkan al Qur’an sebagai segala sumber inspirasi ilmu tidak terbelenggu dengan kesan-kesan lokal dan sektoral, melainkan universal dan rahmatan lil ‘alamin. Hal ini adalah sangat wajar, mengingat objek al Qur’an itu adalah manusia dan objek manusia adalah ilmu, penelitian dan penemuan, semuanya telah menjadi tugas kekhalifahan  manusia untuk memakmurkan  jagat raya ini. (Muhammad al Ghazali, 1413, hal. 137)

Ketika ‘sesuatu itu’ sudah ditemukan, maka hasil penemuan itu bukanlah mu’jizat lagi, karena ilmu sudah berhasil mengungkap hal-hal yang melebihi isyarat-isyarat yang ada dalam al Qur’an. Oleh karenanya, menurut Muhammad al Ghazali, yang dimaksud I’jâz al-Ilmy dalam al Qur’an adalah pengungkapan suatu rahasia yang ada pada waktu itu manusia tidak mampu mengetahuinya sama sekali dan baru pada abad-abad kemudian diketahuilah bahwa yang diungkapkan al Qur’an itu benar. Itu membuktikan kebenaran isyarat al Qur’an. Misalnya peristiwa Isrâ’ (berjalannya nabi dari Masjidil Harâm ke Masjidil Aqshâ), itu merupakan bentuk mu’jizat material yang terjadi pada waktu tertentu, tetapi Isrâ’ tidak dianggap sebagai mu’jizat yang kekal, karena yang kekal hanyalah al Qur’an (Muhammad al Ghazali,1413, hal.138)

Kalaulah ditela’ah dari penafsiran definitif, nampaknya ada perbedaan linguistik (khilâful lafzhi) dalam penafsirannya , dimana para ulama terdahulu lebih mendefinisikan ‘kekalnya mu’jizat’, sedangkan pemikir kontemporer (dalam hal ini Muhammad al Ghazali) menafsirkan adanya ‘keterbatasan  mu’jizat’ yang tidak kekal tanpa menafikan kekalnya mu’jizat al Qur’an. Oleh karenanya, kerapkali pemikiran al Ghazali ini ataupun yang sefaham dengannya mendapat kritikan yang cukup serius dari para ulama yang berhaluan salaf.

Pembuktian Aspek Ilmiyah Kemu’jizatan Al Qur’an
Al Quran merupakan kitab ‘akidah dan hidayah, satu kitab yang selalu mendorong agar manusia menggunakan ‘nalar ilmiyah’. Tidaklah al Qur’an melahirtkan teori baru secara langsung yang selalu berubah, melainkan mendorong untuk berfikir dan memperhatikan alam. Al Qur’an tidak mengebiri kreativitas akal dalam memikirkan alam semesta atau menghalanginya dari penambahan ilmu pengetahuan yang dapat dicapai. Itulah keajaiban al Qur’an yang tidak terjadi pada kitab-kitab sebelumnya. Allah Azza Wa Jalla berfirman :

“ Katakanlah olehmu (Muhammad), perhatikanlah apa-apa yang ada di langit dan di bumi…….(QS.  Yunus/10 : 101)
Demikian pula ayat berikut ini :

“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (QS. Ali Imran/3 : 190)

Ayat tersebut turun sebagai jawaban Allah atas pertanyaan orang-orang Quraisy kepada Nabi saw., di mana sebelumnya mereka bertanya kepada orang Yahudi tentang mu’jizat nabi Musa dan bertanya kepada orang Nashrani tentang mu’jizat nabi Isa, lalu mereka bertanya kepada nabi Saw., kiranya Nabi saw. memohon kepada Allah untuk menjadikan bukit shafa menjadi gunung emas. Lalu Nabi Saw., berdo’a dan Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat ini. ( Khalid Abdurrahman Al- ‘Akk,  Shafwatul Bayân Li Ma’ânil Qur’ân, cet ke-1, h. 75).

Sedemikian jauhnya al Qur’an menatap peradaban ke depan dan melakukan berbagai motivasi kepada manusia untuk selalu memperhatikan berbagai gejala alam (ayatul kaun) yang terbentang dalam ayat-ayat Nya. Dari berbagai renungan para ulama dan observasi para ilmuwan di lapangan, melahirkan ‘penemuan-penemuan baru’ di mana al Qur’an sudah lebih dahulu menggambarkannya ketimbang penemuan manusia, mulai masalah bulan sabit (al hilâl) (QS. Al Baqarah/2:189) sampai ihwal kejadian alam semesta (QS. Al Anbiyâ/21:30), dari ihwal awan dan hujan (QS. An Nûr/24:43) sampai petir (QS. Ar Ra’d/13:13), dari masalah reproduksi sampai geneologi (QS. Al Qiyâmah/75:36-39), An Najm/53:45-46), Al Wâqi’ah/56:58-59), Al Baqarah/2:223, Al Insân/76:22 dan Al Mu’minûn ) dari ihwal gunung (QS. An Naml/27:88, An Naba/78:7) sampai ihwal pemisah dua laut (QS. Al Furqan/25:53).

Diantara kitab-kitab yang banyak mengupas masalah mu’jizat keilmuan dalam al Qur’an  adalah : Qishatul Khalq Rihlah Imâniyah Mashiriyah Fi ‘A’mâqil Qur’ânil Karîm oleh Samihah Ibrahim Mas’ud, al Qur’ân wa Ulûmul Ardh oleh Muhammad Samih ‘Afiyat, Al I’jâzut  Thibby oleh DR. Sayyid al Jumali, Isyarat Qur’âniyah li Ulûmil Ardh (Maqalah Ilmiyah) oleh DR. Zaghul Raghib al Najar, Konsep Qur’an Tentang Sejarah (terj.) oleh Mazherudin Siddiqi, Ensiklopedia Ilmiyah dalam Al Qur’an dan As Sunnah (terj.) oleh DR. Abdul Basith Al Jamal dan DR Daliya Siddiq Al Jamal, Jelajah Alam bersama Al Qur’an (terj.) oelh DR. Maurice Bucaile dan DR. Zakir Naik, dan The Gloroious Koran and Modern Science The Greatest Surprice oleh MD. Anisur Rahman (Ilmuwan Fisika Rajshahi University Bangladesh).

Kesimpulan
Dari  ulasan sederhana ini, dapat disimpulkan bahwa al Quranul Karim sebagai kalam Allah mengandung I’jâz yang sangat tinggi mengingat kandungannya sangat lengkap serta abadi sepanjang hayat sebagai kiatab hidayah yang mampu menyadatrlkan semua ummat manusia yang mendapatkan petunjuknya dan mampu melemahkan musuh-musuh yang menolaknya.

“Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (al Qur’an) dan agama yang haq supaya mengalahkan semua agama, walaupun orang-orang musyrik membencinya” (QS. At Taubah/9:33).

0 comments:

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Yogi Hendra Kusnendar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...