Friday, July 20, 2012

Menimba Makna Dari Berbeda Hari Raya

Selalu ada hikmah di balik peristiwa dan senantiasa ada pelajaran dari sebuah kejadian. Demikian pula hari raya, baik iedul fithri ataupun iedul adhha. Namun semua itu, tidaklah membuat kita harus berputus asa ataupun menimbulkan sikap tak acuh terhadap persoalan agama apalagi menghinakannya. Sikap-sikap seperti ini sangat wajar terjadi pada keumuman kaum muslimin dengan berbagai faktor dan alasan yang berbeda-beda, diantaranya: pertama: adanya harapan yang sangat tinggi dimana kaum muslimin dapat menunaikan hari raya secara bersama-sama sehingga tidak mengurangi kebahagiaan di hari kemenangan itu, sebahagian sudah berbuka sementara yang lain masih berpuasa. Kedua, tidak semua kaum muslimin memahami persoalan mengapa hari raya bisa berbeda, karena memang menentukan hari raya bukan tugas individu melainkan tugas orang-orang khusus yang telah memenuhi kriteria. Ketiga, luputnya pengetahuan kaum muslimin terhadap kenyataan yang pernah terjadi di masa lalu di mana pada masa khalifah Mu'awiyah bin Abi Sofyan, perbedaan penentuan ru'yatul hilal pernah terjadi.

Oleh karenanya, untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan penilaian yang adil, sebaiknya kita mendulang hikmah dari perbedaan tersebut dengan memahami alasan masing-masing. Seperti kasus yang terjadi pada penentuan Iedul Fitri 1 syawal 1427 H., sebahagian kaum muslimin berhari raya pada hari senin, 23 ok tober 2006 dan yang lainnya pada hari selasa, 24 oktober 2006. Yang lebih penting bagi kita, tentu saja bukan persoalan apakah hari senin atau hari selasa, melainkan apa alasannya melakukannya di hari-hari tersebut?


Pengertian Hilal
Bermula dari pertanyaan orang-orang kepada rasulullah saw. tentang hilal, untuk apa diciptakannya hilal? Maka Allah 'azza wa jalla menurunkan ayat-Nya: “Orang-orang bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hilal,jawablah olehmu: hilal itu adalah pertanda waktu (mawaqit) untuk kepentingan manusia dan ibadah haji.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 189).

Ibnu Umar ra. berkata, bahwa rasulullah saw. bersabda: “Allah jadikan hilal-hilal itu sebagai pertanda waktu untuk kepentingan manusia, maka berpuasalah kamu setelah diketahui munculnya hilal dan berbukalah kamu setelah diketahui munculnya hilal, jika terjadi mendung (ghumma) maka genapkanlah hitungan sya'ban 30 hari.” (HR. Al-Hakim dalam Ibnu Katsir 1/317). Kata mawaqit adalah kata jama' dari miqat, artinya batas waktu. As-Sayis dalam Tafsir Ayatil Ahkam menyebutnya al-hilalu miqatus syahri, maksudnya hila itu pertanda waktu (awal) bulan. (KH. A. Ghazali dalam Penentuan Bulan Hijriyah Berdasarkan Nash Syara' Dan Fuqaha, hal. 2)

Senada dengan makna itu, As-Syaukani menyebutnya dengan ismun lima yabdu fi awwalis syahri wa fi akhiri, nama bulan ketika baru muncul dan ketika berakhir. (Fathul Qadir I/ 240)

Menentukan Munculnya Hilal

Dengan mengacu kepada hadits-hadits rasulullah saw., maka para ulama fiqih menyimpulkan ada beberapa cara dalam menetapkan awal ramadhan. Pertama, dengan melihat langsung (ru'yatul hilal) pada hari ke 29 di bulan sya'ban. Ada yang menyebutkan cukup seorang yang adil seperti kesaksian Ibnu Umar atau bersumpahnya orang Badui di hadapan rasulullah saw., namun sayang dalam sanadnya ada rawi yang menjadi pembicaraan para ulama hadits. Ada pula yang mensyaratkan dua orang adil atau sekelompok orang. Mengenai jumlah orang banyak itu merujuk kepada Imam Ahmad dan Qodhi Iyadh tanpa menyebutkan jumlah tertentu. Kedua, menyempurnakan bilangan bulan sya'ban menjadi 30 hari (ikmalu 'iddati sya'bana tsalatsina yauman). Maksudnya apabila orang-orang sudah berusaha melihat hilal tanggal 29 malam bulan sya'ban namun ternyata tidak seorangpun yang melihatnya, maka bulan sya'bandisempurnakan menjadi 30 hari. Ketiga, menetapkan adanya hilal ketika cuaca buruk (idza ghumma 'alaikum faqdurullah). Dalam hal ini, para ulama berselisih pendapat. Imam Ahmad sebagaimana dinukilkan Imam Nawawi memaknai faqduruulah itu dengan memperkirakan hilal di bawah awan, sehingga mewajibkan puasa pada malam yang mendung. Sedangkan Mithraf bin Abdillah, Abul Abbas bin Suraij dan Ibnu Qutaibah memaknai faqduruulah itu dengan memperkirakan hilal berdasarkan hisab. Sementara Imam Abu Hanifah, Imam Safi'i dan jumhur salaf dan khalaf berkata: maksud faqduruulah itu adalah menyempurnakan bulan sya'ban menjadi 30 hari. Adapun Ibnul 'Arabi, dengan menukilkan pendapat Abul Abbas bahwa faqduruulah itu diperuntukkan bagi orang-orang yang dianeugerahi ilmu falak oleh Allah, sedangkan fa akmilul 'iddata diperuntukkan bagi orang-orang awwam dalam hal ilmu falak. (Lihat Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid I /77-78 dan Fiqhus Shiyam, DR. Yusuf Qaradhawy, hal. 40-43)

Mengapa Berbeda?
Terlepas pro dan kontra mana yang lebih mendekati kepada kebenaran dalam menentukan hari raya. Yang jelas, penentuan munculnya hilal (baik secara ru'yat maupun hisab) merupakan masalah yang sangat penting, karena menyangkut mawaqitu linnas (penentuan waktu untuk manusia) terutama menentukan waktu-waktu ibadah: kapan mulai puasa dan kapan mulai berbuka (berhari raya), kapan jatuhnya 'arafah bagi yang haji dan kapan puasa bagi yang tidak berhaji, kapan shalat iedul adha dan kapan hari tasyriq. Satu sama lain berjalin berkelindan saling berhubungan. Itulah salah satu kebesaran Allah 'azza wa jalla dengan kekuasaanNya menjadikan hilal sebagai pertanda awal bulan. Namun dalam pelaksanaannya terkadang kaum muslimin dihadapkan pada kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, dimana perbedaan hari raya kerap terjadi bahkan lebih sering terjadi. Demi keutuhan dan terpeliharanya ibadah hari raya, khususnya dengan tetap mengedepankan hujjah 'ilmiyah, kaum muslimin hendaknya lebih pandai mengambil pelajaran berharga dari perbedaan yang ada, minimalnya memahami alasan masing-masing. Seperti halnya 1 syawwal 1427 H.  Ada yang menetapkan bahwa hilal sudah wujud pada hari ahad, walaupun di wilayah lain belum, dengan prinsip masih dalam satu kesatuan wilayah hukum suatu negara (wilayatul hukmi), maka ditetapkan seluruhnya ied pada hari senin. Ada yang berpedoman pada ru'yat global (ru'yah 'alamiyyah), dengan pertimbangan dalam sistem khilafah tidak dikenal batas wilayah negara, ketika di suatu wilayah hilal sudah wujud, maka hal tersebut berlaku bagi seluruh dunia. Ada juga yang menetapkan iedul fithri pada hari senin dengan prinsip mengikuti Ummul Qura/ Makkah yang telah menetapkan hari senin. Demikian pula yang menetapkan hari selasa, dengan alasan hilal sudah wujud di sebagian wilayah, namun 'adamu imkanir ru'yah (kondisi yang tidak mungkin diru'yah) sehingga diperkirakan atau disempurnakan umur bulan itu 30 hari. (lihat PP. Muhammadiyah dalam Maklumat no. 558/1.0/A/2006 dan PP. Persatuan Islam dalam Surat Edaran no. 0574/JJ-C.3/DP/2006)

Di sisi lain, ada pula yang berpegang kepada itsbat waliyyul amri (penetapan pemerintah) di kala terjadinya perbedaan, di mana pemerintah memiliki kewajiban menciptakan kesatuan dan persatuan ummat Islam. Sejalan dengan kaidah fiqhiyyah: itsbaatul haakim fii Masaailil Ijtihaad yarfa'ul khilaaf, penetapan seorang hakim dalam masalah ijtihad menghilangkan persengketaan. Hal inipun sejalan dengan komentar Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang menyerukan agar bergabung dengan penguasa muslim untuk mengurangi meluasnya perbedaan dalam satu teritorial negara. (Samir bin Amin Az-Zuhairi dalam Al-Ilmam bi Adaabin wa Ahkamis Shiyaam, hal.17)
 
Untuk lebih terasa tenang dan tentramnya hati dalam menunaikan hari raya, sebaiknya kaum muslimin merenungkan peristiwa yang terkandung dalam hadits Kuraib, Bab Bayaanu anna likulli baladin ru'yatuhum (bab penjelasan bahwa bagi tiap-tiap negara sesuai ru'yatnya) yang menceritakan bahwa Khalifah Mu'awiyah di negeri Syam berpuasa pada hari Jum'at sementara Ibnu Abbas di Madinah berpuasa pada hari sabtu. Ketika Kuraib bertanya kepada Ibnu Abbas ra. kenapa tidak bareng saja bersama Mu'awiyah, Ibnu Abbas ra. menjawab: Tidak, beginilah rasulullah saw. telah memerintahkan kepada kami. (HR. Muslim no. 1819, At-Tirmidzi no. 629, An-Nasa'i no 2084 dan Abu Dawud no 1985)

Maksudnya adalah penduduk sebuah negara tidak harus beramal dengan ru'yahnya negara lain, seperti Ibnu Abbas di Madinah tidak beramal dengan ru'yahnya penduduk Syam. (As-Syaukani dalam Nailul Authar II/ 254). Itu artinya perbedaan tersebut pernah terjadi dan sah dalam pandangan agama selama memeiliki hujjah shahihah dan bukan karena mengikuti hawa nafsu.

Bagaimana Dengan Iedul Adhha?

Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, ibadah shaum dan haji ditentukan dengan munculnya hilal sebagai pijakan dalam menentukan ibadah-ibadah lainnya yang berkaitan dengan keduanya. Maka Allah Azza Wajalla menurunkan ayat-Nya : “Orang-orang bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hilal-hilal itu pertanda waktu (mawâqit) untuk manusia dan pelaksanaan ibadah haji” (QS. Al-Baqarah /2:189).

Dengan demikian, penentuan ibadah di bulan Dzulhijjah ini sangat tergantung kepada kapan bulan ini pertama kali muncul, dan kapan bulan sebelumnya (Dzulqa'dah) berakhir. Hal ini senada dengan Imam Asy-Syaukani, bahwa hilal itu ismun limâ yabdû fî awwalis Syahri wa fî âkhirihi,  nama bulan ketika baru muncul dan ketika berakhir. (Fathul Qadîr 1/240).

Dalam prakteknya, untuk menentukan ketetapan waktunya kaum muslimin masih dihadapkan kepada perbedaan, antara yang berpegang kepada hisâb haqîqî dan yang berpegang kepada ru'yatul hilâl (melihat hilal secara langsung). Untuk kasus penentuan hilal Ramdhan, kapan mulai shaum dan kapan mulai berbuka (iedul fithri) sudah sama-sama dimaklumi bahwa kaidah Anna likulli baladin ru'yatuhum (bahwa bagi tiap-tiap negeri sesuai dengan ru'yatnya) dapat dijadikan pegangan  yang cukup menenangkan, demikian pula dengan kaidah itsbâtul hâkim fî masâilil ijtihâdi yarfa'ul khilâf (penetapan seorang hakim atau waliyyul amri dalam masalah ijtihad dapat menghilangkan perbedaan). Bagaimana dengan perbedaan shaum 'Arafah dan Iedul Adhha?, masihkah kaidah-kaidah di atas dijadikan pegangan?

Mengingat penentuan wuquf 'Arafah sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Saudi Arabia, karena tempatnya ada di sana. Dalam hal ini, kaum muslimin, terutama para pemimpinnya masih belum ada kesepakatan, sehingga perbedaan ini nampaknya masih akan sering terjadi di setiap tahunnya seperti halnya tahun lalu, di mana pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia sudah mengumumkan bahwa wukuf 'arafah jatuh hari Jum'at, 29 Desember 2006 dan Iedul Adhha keesokan harinya, Sabtu, 30 Desember 2006. Sementara Departemen Agama RI dalam sidang itsbatnya (waktu itu) bersama sembilan ormas Islam memutuskan 10 Dzulhijjah 1427 H jatuh pada hari Ahad, 31 Desember 2006. (Lihat Republika, edisi Jum'at dan Sabtu 22-23 Desember 2006). Namun alhamdulillâh untuk pelaksanaan Iedul Adhha (10 Dzulhijjah 1430 H.) tahun ini, kaum muslimin tanah air dapat menunaikannya secara bersama-sama sesuai dengan ketentuan wuquf 'Arafah yang ditetapkan Kerajaan Saudi Arabia, yaitu hari Kamis 26 November 2009. Maka otomatis, pelaksanaan shalat Iedul Adhha 1430 H dilaksanakan hari Jum'at 27 November 2009.

Bahan Pertimbangan
Terjadinya perbedaan pelaksanaan Iedul Adhha, sudah lama terjadi. Tentunya sangat mempengaruhi kekhusyuan kaum muslimin dalam menjalankan ibadah tersebut (khususnya Shaum 'Arafah dan shalat Iedul Adhha serta hari-hari tasyrik bagi negara di luar Saudi Arabia). Hal inilah yang membuat Allah Yarham, DR. Mohammad Natsir sebagai anggota Majelis Ta'sîsî, Mudier Maktab dan penasehat umum Rabithah al-'Alam al-Islamy melayangkan suratnya tertanggal 23 Shafar 1396 H. dengan No. 109/2/76 kepada Sekjen Rabithah al-'Alam al-Islamy, M. Shaleh Qazzaz untuk mengeluarkan suatu penjelasan sehubungan masalah tersebut. Maka Sekjen Rabithah al-'Alam al-Islamy menyetujui usulan Syaikhul Azhar DR. Abdul Halim Mahmud yang berpendapat, ummat Islam sedunia, sebaiknya mempunyai satu pendapat dalam menentukan hari wuquf di 'Arafah, sehingga Hari Raya Haji dirayakan pada hari yang sama di seluruh dunia. Beliau menegaskan : “Jadi saya berpendapat, karena Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Tinggi telah memudahkan cara-cara berkomunikasi modern antara masing-masing Negara Islam, maka sebaiknya semua Negara itu berpedoman kepada ru'yah Saudi Arabia dalam menentukan permulaan bulan Dzulhijjah. Inilah pendirian yang dapat mempersatukan pendapat kaum muslimin seluruhnya dalam persoalan wuquf di 'Arafah” (diterjemahkan dari harian An-Nadwah oleh Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Pusat).

Semoga Allah 'Azza Wajalla senantiasa mempertautkan hati kaum muslimin, memberikan ampunan (maghfirah) dan petunjuk-Nya (hidayah) serta menjadikan do'a-do'a mereka dikabulkan (mustajâbah, maqbûlah) di sisi-Nya. Allahumma Amien

H.T. Romly Qomarudddien MA

0 comments:

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Yogi Hendra Kusnendar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...