Monday, July 16, 2012

Zakat Fithrah

Ramadhan sudah dekat. Ada banyak hal yang harus disiapkan untuk menghadapinya. Zakat fithrah merupakan salah satu hal wajib bagi setiap muslim untuk dilaksanakan di akhir ramadhan. Walaupun belum masuk waktu shaum ramadhan, tulisan H.T. Romly Qomaruddien ini dapat kita jadikan sebagai tadzkirah (pengingat) dan penambah ilmu serta wawasan keislaman kita.

Definisi dan hukum
Zakat fithrah adalah zakat badan yang dikeluarkan pada akhir Ramadhan berupa makanan pokok sebanyak satu sha’ (2,5 kg atau 3,5 liter). Mulai diperintahkan kepada Rasulullah saw. Pada tahun 2 H. Hukumnya wajib berdasarkan keterangan banyak hadits Rasulullah saw. diantaranya:

Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fithrah satu sha’ kurma atau gandum atas hamba sahaya maupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang dewasa dari orang Islam (H.R. Al-Bukhari III/ 473 No. 1511 dan Muslim II/677 No. 984 dari Abdullah bin Umar ra.)

Siapakah yang Wajib mengeluarkan Zakat Fithrah?
Sebagaimana dijelaskan hadits di atas, semua yang disebutkan di dalamnya memiliki kewajiban mengeluarkan selama memiliki kelebihan makanan sekeluarga pada hari itu (hari iedul fithri), termasuk di dalamnya bayi yang masih dalam kandungan yang menjadi tanggungan orang tuanya, karena kalimat as-shagiir dalam hadits ini di dalamnya mengandung arti al-haml (bayi dalam kandungan). Hal ini disandarkan kepada Amirul Mu’minin Utsman bin Affan ra. yang melakukan untuk dirinya. Demikian pula Abu Qilabah menuturkan, adalah menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan zakat fithrah dari anak kecil, dewasa bahkan yang masih dalam kandungan. Pendapat senada muncul dari Sulaiman bin Yassar, ketika beliau ditanya tentang hal itu, anak yang masih dalam kandungan, haruskah dikeluarkan zakatnya? Beliau menjawab: na’am (ya, dikeluarkan). (Al-Muhamalla VI/ 132 dalam Al-Hidayah fie Masaaila Fiqhiyyah Muta’aaridah oleh Zakaria al-Kurkhi). Fadhilatus Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin, tidak memasukannya hukum wajib melainkan tathawwu’ (sunnah) saja. (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 160)

Barang dan Ukuran yang Dizakatkan
Di samping kurma (tamar) dan kacang atau gandum (sya’ir), para shahabat Rasulullah saw. pun mengeluarkan kismis (zabib) dan susu kering atau keju (aqiith). Hal ini dijelaskan Abu Sa’id al-Khudriy ra. :
“Kami (para shahabat) mengeluarkan zakat fithrah di zaman nabi saw. dengan satu sha’ makanan, dan makanan kami adalah sya’ir, zabib, aqith dan tamar.”

Dengan melihat hadits ini, para ulama lebih menitikberatkan agar barang yang dijadikan zakat fithrah itu terdiri dari jenis makan pokok bani Adam (tha’amul adamiyyin), bukan makanan hewan ternak dan juga tidak boleh diganti dengan barang lainnya (semisal kain, permadani atau yang lainnya).

Adapun digantikannya nilai nominal (qiymah), para ulama berbeda pendapat. Imam Atha’, Imam Syafi’i dan Imam Ibnu Hazm menolaknya, sedangkan Imam Ibnu Hanifah dan Imam Tsauri membolehkannya dengan alasan Umar bin Abdil Aziz menyuruh gubernurnya untuk memotong gaji pegawai kantor masing-masing ½ dirham untuk zakat fithri. Sementara itu madzhab Hanbali dalam kitab Al-Mughni menyebutkan, pada dasarnya tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilai nominal (baik zakat fithrah maupun zakat mal) sebab bertentangan dengan sunnah. Namun, dalam riwayat lain Imam Ahmad membolehkan mengeluarkan nilai zakat selain zakat fithrah. (al-Qaradhawi, Kiat Sukses Mengelola Zakat, hal. 52)

Sedangkan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menuturkan: telah dimaklumi bahwa pada waktu penetapan syari’at ini dan pengeluaran zakat ini, di tengah-tengah ummat islam terutama penduduk Madinah sudah ada dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) yang merupakan mata uang yang berlaku pada waktu itu, tetapi beliau tidak menyebut keduanya dalam zakat fithrah. Seandainya keduanya bisa dipakai untuk membayar zakat fithrah, niscaya beliau menjelaskannya. Sekiranya itu boleh, niscaya para shahabat melakukannya ..... (Fatawa az-Zakat: Fatwa Seputar Zakat, hal. 82)

Adapun yang disebut satu sha itu adalah sha nya Rasulullah saw., yaitu sebanding dengan 480 mitsqol atau 2,42 kg. (lihat Ad-Durus al-Ramadhaniyyah, hal. 183)

Waktu Menyalurkan Zakat
Waktu mengeluarkan zakat fithrah kepada mustahiknya adalah waktu subuh sebelum shalat iedul fithri berlangsung, dan ini dinamakan waktu afdhal  (utama). Hal ini sesuai dengan hadits Ibnu Umar ra. yang meriwayatkan:

“Bahwa nabi saw. menyuruh zakat fithrah ditunaikan sebelum manusia keluar menuju shalat ied.” (HR. Al-Bukhari III/ 463 No. 1503)

Sebahagian kaum muslimin menyalurkannya satu atau dua hari sebelum Ramadhan berakhir. Hal ini berdasarkan amalan Ibnu Umar ra. yang menyerahkan zakat fithrah kepada orang-orang yang menerimanya. Mereka adalah para petugas yang diangkat oleh Imam untuk mengumpulkannya. Demikian itu terjadi sebelum iedul fithri satu atau dua hari. (HR. Ibnu Huzaimah)

Memperhatikan hadits ini, sungguh jelas bahwa Ibnu Umar melakukannya, bukanlah beliau menyerahkan langsung kepada fuqara melainkan Ibnu Umar menyerahkannya kepada petugas zakat (panitia) bukan mustahiq.

Namun demikian, banyak pula yang menafsirkan hadits tersebut bolehnya mengeluarkan zakat fithrah sehari atau dua hari sebelum idul fithri, termasuk Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin yang menyebutnya waktu jawaz (boleh). (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 163)

Tentu saja kebolehan itu tidak mengurangi hukum asal mengenai waktu yang lebih utama yaitu setelah shalat shubuh sampai shalat ied berlangsung.

Mustahik Zakat Fithrah
Berkata Ibnu Abbas ra.: Rasulullah saw. mewajibkan zakat fithrah sebagai pembersih bagi orang yang shaum dari perbuatan yang sia-sia dan kotor dan sebagai pemberian makan bagi kaum miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat (ied) maka itulah zakat yang diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat ied maka itu termasuk shodaqoh biasa. (HR. Abu Dawud II/ 111 no 1609, Ibnu Majah no 1827, Syaikh al-Albani menghasankan dalam kitabnya al-Irwa’)

Bertitik tolak pada hadits ini, sebahagian ulama berpendapat bahwa mustahiq zakat fithrah adalah fuqara dan masakin, sedangkan ulama fiqih lainnya berpendapat fuqara dan masakin merupakan prioritas yang ditekankan (tanshish) bukan pengkhususan (takhsish). Oleh karenanya kembali kepada keumuman ashnaf yang delapan sebagaimana tercantum dalam QS. At-Taubah/ 9: 60, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi: 1) orang-orang faqir (tidak memiliki pencaharian), 2)orang-orang miskin (tidak mencukupi kebutuhan pokok), 3) Amilin (petugas zakat), 4) para Mu’allaf (orang-orang yang telah dijinaki hatinya), 5)untuk memerdekakan hamba sahaya (riqab), 6) orang-orang yang memiliki hutang (gharimin), 7)orang-orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillah) dan 8) orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan tidak memiliki bekal (Ibnu Sabil).”

Adapun teknis pembagian zakat, diserahkan prosentasenya kepada pertimbangan petugas zakat, demikian dikatakan Imam Malik dalam Muwattha’ nya. Hal lain yang tidak kurang pentingnya untuk diketahui adalah larangan untuk memberikan zakat itu kepada orang faqir yang kafir, karena diambilnya zakat itu dari orang muslim dan harus dikembalikan kepada orang-orang muslim lagi.

Pemilik kitab al-Manar, Muhammad Rasyid Ridha, menuturkan zakat itu diberikan secara khusus untuk orang muslim, berbeda halnya dengan shadaqah sunnah, boleh untuk orang kafir selama mereka dianggap muallaf (baik dia belum Islam, namun cenderung untuk masuk Islam atau dia belum islam, namun diharapkan masuk Islam) seperti Sofyan bin Umayyah. Bahkan shadaqah inipun boleh diberikan kepada orang kafir yang ditakuti akan kejahatannya, dengan diberikannya zakat diharapkan dapat mencegah kejahatannya. Wallahu a’lam bisshawab.

H.T. Romly Qomaruddien, MA.

0 comments:

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Yogi Hendra Kusnendar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...