Tuesday, July 31, 2012

Mendidik Dengan Iman

Suatu ketika, manakala Rasulullah saw. berkumpul bersama para shahabatnya di masjid, tiba-tiba datanglah seorang arab badui masuk ke masjid, dan orang badui itu buang air kecil di salah satu tiang masjid. Melihat perilaku tidak sopan dari orang badui tersebut, kontan para shahabat pun langsung emosi dan naik pitam.

Ketika para shahabat marah, bahkan dalam riwayat Ubaidullah bin Abdullah bin Mas’ud orang-orang ketika itu mengejarnya. Dengan tenang justeru Rasul saw. meminta para shahabatnya untuk menahan emosi mereka. Bahkan beliau memerintahkan para shahabatnya untuk menyiram bekas kencingnya tadi dengan satu ember air.

Peristiwa ini direkam oleh para shahabat seperti telah diungkapkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari (dapat dilihat dalam Kitabul Wudhu`).

Bila kita melihat kisah ini, mungkin kita akan sedikit mengerutkan dahi. Mengapa demikian? Sebab apa yang dilakukan orang arab badui tadi adalah perilaku yang sangat tidak sopan, bahkan wajar jika  diperingatkan dengan keras dikarenakan telah menodai tempat yang disucikan kaum Muslimin, yaitu masjid.

 Seandainya hal itu terjadi di zaman sekarang, mungkin keributan tidak dapat dielakan lagi. Beruntung peristiwa itu terjadi ketika Nabi saw. masih hidup. Padahal saat ini lembaga pendidikan Islam sudah bertebaran di mana-mana dengan berbagai macam system manajemen dan kurikulum yang cukup ketat dan kreatif. Tapi hasilnya hanya melahirkan orang-orang yang mudah emosi, jauh dari akhlaq qur`ani, sebatas pintar di kelas tapi bodoh di masyarakat. Metode pengajaran pun telah banyak dikembangkan, ini dapat kita jumpai dengan banyaknya buku-buku yang menjelaskan tentang metode pengajaran yang baik, kreatif, imajinatif hampir di setiap toko buku.

Jika dibandingkan dengan metode pendidikan di zaman Rasulullah saw., sepertinya tidak terlalu beda dengan sekarang. Kalau pun berbeda, hanya dalam hal yang bersifat teknis saja (salah satunya evaluasi tertulis). Lalu apa yang kurang dalam sistem pendidikan kita dewasa ini?

Mari kita lihat bagaimana Rasulullah saw mendidik para shahabatnya, seperti dalam kisah tadi. Pertama, Rasulullah saw mendidik para shahabatnya dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Bayangkan, Rasulullah saw. sering mengajak para shahabatnya untuk memelihara kebersihan dan kesucian, hal ini dapat terlihat dari banyaknya hadis yang menjelaskan tentang berwudhu, mandi, tayamum, bahkan Rasulullah saw. pernah mengajarkan kepada para shahabatnya tentang hukuman orang yang tidak menjadikan sutrah (penghalang) ketika buang air kecilnya, tiada lain orang tersebut akan diadzab dengan adzab yang tidak ringan -sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas-. Apa yang dilakukan oleh orang badui itu bukan hanya kemaksiatan tapi sudah penodaan dan penghinaan, wajar jika para shahabat yang menyaksikannya marah. Tapi karena Rasulullah adalah seorang pendidik yang handal, ia tidak serta merta menyalahkan orang badui itu, karena beliau tahu apa yang dilakukan orang badui itu didasari dengan ketidak tahuan.

Sebagai pendidik yang bijak harus mampu memadukan antara ketegasan atas sebuah urusan dan kelembutan sehingga tidak membuat orang kabur karena takut. Dengan penuh kesabaran dan ketenangan beliau harus mampu menjelaskan bahwa apa yang dilakukan orang badui itu adalah tindakan yang salah, tetapi juga tidak membuat orang badui itu lari karena merasa bersalah.

Maka Rasulullah saw meminta para shahabat yang emosi tadi untuk membiarkan orang badui tadi buang air kecil, setelah selesai Rasul pun menyuruh para shahabat untuk menyiramnya. Dengan demikian orang badui tadi tahu bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan, tetapi tidak menyebabkan dirinya merasa disalahkan sehingga mengakibatkan dirinya lari dan benci. Karenanya dengan penuh kesababaran dan ketenanganlah sikap bijak akan muncul.

Kedua, sesungguhnya apa yang dilakukan Rasul dalam menyelesaikan masalah ini, bukan hanya mengajarkan kepada  orang badui saja, tapi juga mengajarkan kepada para shahabat yang menyaksikan peristiwa itu bagaimana cara mensikapi suatu permasalahan, termasuk memberikan keteladanan kepada kita saat ini yang hanya mampu membaca kisahnya setelah berabad-abad lamanya. Hal ini tiada lain karena Rasulullah saw memberikan keteladanan dalam mendidik, bukan sekadar teori yang memungkinkan terjadinya salah persepsi.

Ketiga, pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw bersumber dari kekuatan ini. Kekuatan yang mampu menggetarkan jiwa para peserta didiknya, kekuatan yang senantiasa muncul di saat diperlukan, kekuatan yang selalu memberikan pengaruh perubahan terhadap orang yang menyaksikan, mendengar, dan membaca kisahnya. Itulah kekuatan iman.

Sebaik apa pun system pendidikan, sehebat apa pun kurikulam pengajaran, tidak akan memberikan pengaruh perubahan dalam diri peserta didik. Tidak ada dalam sejarah mana pun orang mengakui kesalahan dirinya dan menuntut kepada pemimpin untuk dihukum kecuali pada zaman Rasulullah saw. Yang dibangun oleh Rasul dalam mendidik dan membina para shahabatnya adalah kekuatan iman kepada Allah Swt.

Maksudnya adalah orientasi dalam setiap pembelajaran adalah berorientasi kepada nilai-nilai ukhrawi. Ketika melakukan sebuah kebajikan, maka surga ganjaran terbesarnya, sebaliknya ketika melakukan kemaksiatan, maka neraka ganjaran kepedihannya. Dengan demikian muncul sikap mengharap (raja) dan takut (khauf) terhadap Allah Swt. Sikap demikian akan menghasilkan sikap yang istiqamah dalam bertindak, sebab orientasi demikian bersifat kekal, tidak berubah karena kondisi apa pun.

Berbeda jika orientasinya hanya duniawi belaka, seperti supaya bisa sukses, supaya menjadi orang kaya, supaya menjadi orang terpandang dan lain sebagainya. Ketika hal itu sudah tercapai, maka pengaruh nilai-nilai yang diajarkan kepadanya akan hilang, atau orientasinya bisa berubah tergantung kondisi, dan biasanya orientasi-orientasi yang bersifat duniawi hanya diukur oleh materi dan cenderung melupakan etika dan akhlaq, sehingga dapat menghalalkan segala cara. Bila itu yang terjadi, maka tunggulah kehancurannya.

Apa yang dilakukan Rasul adalah membangun kekuatan iman dalam diri. Umatnya dituntut untuk taat kepada aturan Allah dan Rasul-Nya. Begitupun bagi para pendidik, yang harus pertama kali dibangun bukanlah hanya sebatas teknik pengajaran, bukanlah semata metode mendidik, tapi bangunlah pertama kali dalam diri kekuatan iman.  Kekuatan transedental yang memiliki daya ubah lebih dahsyat dari sekadar teknik atau metode mendidik biasa. Lihatlah para alumni madrasah Rasulullah, mereka mampu membuka cakrawala baru terhadap dunia, mereka mampu menumbangkan dua peradaban yang berdiri dengan angkuh padahal sangat rapuh, yaitu Persia dan Romawi. Terbukti, ketika peradaban Islam maju, kekuasaan Persia tak berdaya dan kekuasaan Romawi terjungkal. Sehingga ketika Islam mengalami masa kejayaan, mereka mengalami The Dark Age (masa kegelapan). Ketika di kota-kota Islam jalanan dipenuhi oleh lampu-lampu penerang, mereka bahkan tak mampu melihat jalan di kegelapan malam. Ketika di kota-kota Islam banyak digelar majelis-majelis ilmu, mereka banyak mengalami penyiksaan karena harus menjalankan kerja paksa atau akibat menentang pemerintahan.

Kini, kekuatan itu sedikit demi sedikit menghilang walau belum padam. Banyak yang tahu dahsyatnya kekuatan itu, tapi jarang sekali yang ingin menggunakannya. Padahal sudah banyak yang pernah menggunakannya dan berhasil. Itu tergantung kepada kemauan kita sebagai pendidik diri. Akankah umat dididik dan dibina dengan ukuran materi semata atau dengan kekuatan iman? Ibda` bi nafsik!

Agung Aditya Subhan


0 comments:

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Yogi Hendra Kusnendar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...