(Pemahaman Masyarakat terhadap hajat Sasih)
Tulisan Kelima
Secara khusus, Hajat Sasih dipahami masyarakat Kampung Naga sebagai bentuk permohonan berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, serta mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepada mereka. (Upacara Adat di Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 2007) Selain itu, ritual ini juga dilaksanakan sebagai ritual penyambut dan peraya hari-hari besar Islam seperti Iedul Fitri, Iedul Adha, Maulid Nabi Muhammad Saw, Haji dan sebagainya. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Oleh karena itu ritual ini sampai saat ini tidak pernah terputus atau ditinggalkan oleh masyarakat Kampung Naga dan Sanaga.
Sebagai ritual yang dilaksanakan setiap dua bulan sekali, Hajat Sasih bagi masyarakat Kampung Naga merupakan hal yang telah menjadi sebagian rutinitas. Dalam segi keyakinan, sebagian masyarakat beranggapan bahwa Hajat Sasih hanya merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa syukur dan permohonan berkah serta penghormatan yang mendalam kepada leluhur mereka yaitu Sembah Dalem Eyang Singaparana. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 58) Sebagian yang lainnya menganggap bahwa ritual Hajat Sasih merupakan kewajiban yang diembankan kepada masyarakat Kampung Naga untuk selalu dijaga, dipelihara dan dilaksanakan. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan maka langsung atau tidak langsung pasti akan ada akibat menanti para pelanggarnya. (Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)
Secara rinci, masyarakat Kampung Naga memahami tradisi ritual Hajat Sasih sebagai berikut:
3.2.1. Penyambut Hari-hari besar
Hajat Sasih dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga sangatlah agung. Mereka menganggap bahwa ritual ini setara dengan hari-hari besar Islam seperti iedul fitri dan iedul adha. (Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 2007) Selain itu, ritual ini juga berfungsi sebagai penyambut dari hari-hari besar tersebut, diantaranya:
Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27 atau 28 dilaksanakan ritual Hajat Sasih untuk menyambut awal tahun baru Islam. Bulan Maulud (Rabi’ul Awwal) pada tanggal 12, 13, atau 14 dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw. Bulan Rewah (Sya’ban) pada tanggal 16, 17 atau 18 dilaksanakan Hajat Sasih untuk menyambut pertengahan bulan dalam kalender hijriah. Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, atau 16 (dalam prakteknya, dalam bulan ini, Hajat Sasih dilaksanakan pada tanggal satu atau dua syawwal tergantung keputusan sesepuh adat) dilaksanakan ritual Hajat Sasih untuk menyambut datangnya hari raya iedul fitri dan melepas bulan Ramadhan. Bulan Rayagung (Dzulhijjah) pada tanggal 10, 11, atau 12 dilaksanakan ritual Hajat Sasih untuk menyambut hari raya iedul adha dan haji. (Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)
3.2.2. Ungkapan rasa syukur
Selain sebagai penyambut hari-hari besar dalam Islam, Hajat Sasih dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga juga merupakan bentuk ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Sebagai pemeluk Islam, ungkapan rasa syukur ini terutama sekali disampaikan oleh mereka kepada Allah swt seperti tercermin dalam do’a-doa yang mereka sampaikan, baik oleh Kuncen maupun amil. Jadi, syukuran dilakukan bukan hanya sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur mereka kepada leluhurnya karena Hajat Sasih sudah berlangsung dengan lancar, aman dan damai. (Ja’i, Masyarakat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007)
Do’a-do’a yang mereka panjatkan kepada Tuhan, merupakan do’a permohonan keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat Kampung Naga dan sanaga serta daerah tempat tinggal mereka. Manusia tidaklah memiliki kekuatan apapun, kecuali dengan kehendakNya. Mereka memiliki ungkapan ‘Jelema mah teu daya teu upaya. Usik malik oge kersaning nu Maha Kawasa’ (Manusia tidaklah memiliki kekuatan apapun. Bergerak dan hidup juga merupakan kehendak dari Tuhan). (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal . 88)
3.2.3. Perantara Do’a dan Permohonan Berkah
Secara rinci, do’a-do’a yang dipanjatkan dalam ritual Hajat Sasih tidak penulis peroleh di lapangan, hal ini dikarenakan tidak semua anggota masyarakat mengetahuinya. Selain itu, Kuncen yang mempunyai hak untuk menjelaskannya tidak berkenan. Akan tetapi dari tulisan-tulisan yang ada, do’a-doa yang disampaikan dalam ritual tersebut merupakan do’a-doa syukur dan permohonan berkah. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal . 88)
Dalam melaksanakan ritual Hajat Sasih, selain diyakini sebagai ritual penyambut dan pengungkap rasa syukur, masyarakat Kampung Naga juga memahami bahwa dengan berziarah, berdo’a dan memohon di depan makam keramat tersebut dapat menyebabkan do’a mereka lebih didengar oleh Tuhan. (Ujif, Masyarakat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007) Sembah Dalem Eyang Singaparna merupakan perantara dari do’a mereka (masyarakat Kampung Naga) yang dha’if yang tidak akan mungkin langsung dapat sampai kepada Tuhan. Sembah Dalem Eyang Singaparana-lah yang nantinya akan menyampaikan permohonan mereka tersebut. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Keyakinan ini tidak hanya diungkapkan oleh wakil Kuncen yang penulis wawancara, akan tetapi oleh seluruh responden. Selain itu, dengan melaksanakan Hajat Sasih masyarakat Kampung Naga meyakini dan mengharapkan turunnya berkah, kesejahteraan dan keamanan dari Tuhan.
3.2.4. Hajat Sasih dan Ibadah Haji
Beredar pemahaman, bahwasanya masyarakat Kampung Naga memahami bahwa ritual Hajat Sasih yang dilaksanakan pada bulan Rayagung (Dzulhijjah), atau bertepatan dengan hari raya Iedul Adha dan ibadah haji,merupakan ritual yang setara dengan ibadah Haji atau bahkan bisa menggantinya. Hal ini seperti tertera dalam tulisan yang dipublikasikan oleh http://id.wikipedia.org sebagai berikut:
“Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah haji, mereka (masyarakat Kampung Naga) beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke tanah suci Makkah, namun cukup dengan melaksanakan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan hari raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan hari raya Iedul Adha dan hari raya Iedul Fitri.” (Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.com, 23 Maret 2007)
Masyarakat Kampung Naga memahami bahwasanya ibadah Haji merupakan rukun Islam yang ke lima dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu termasuk mereka. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Tidak pernah adanya masyarakat Kampung Naga yang melaksanakan ibadah Haji hanya semata ketidak mampuan mereka dalam melaksanakannya. (Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)
Secara ekonomi, masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat tradisional dengan keadaan ekonomi rendah (miskin). Setiap anggota masyarakat memiliki lahan yang mereka garap tidak lebih dari 297 m2 per KK. Hal ini dikarenakan jumlah lahan pertanian (baik lahan basah maupun lahan kering) hanya tersedia sekitar enam hektar. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal . 73) Hasil bumi yang mereka hasilkan tidaklah untuk dijual, akan tetapi dipakai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Untuk menambah penghasilan, kebanyakan mereka menjadi buruh tani atau membuat kerajinan tangan dari bambu bagi mereka yang memiliki keterampilan dalam bidang tersebut.
Pemahaman masyarakat yang sebenarnya mengenai ibadah haji tetaplah sama dengan kaum Muslimin di daerah lain. Hanya saja bagi masyarakat Kampung Naga seseorang yang telah melaksanakan Ibadah Haji ke tanah suci Makkah tidak diperbolehkan mengikuti upacara ritual Hajat Sasih. Dalam pandangan mereka, makam keramat merupakan tempat suci dan sakral akan tetapi tempat tersebut tidaklah lebih suci dibandingkan dengan tanah suci Makkah. Melaksanakan ibadah Haji menurut masyarakat Kampung Naga merupakan pelaksanaan ziarah ke tempat tersuci bagi kaum Muslimin. Oleh karena itu terlarang melaksanakan ziarah kembali dalam bentuk ritual Hajat Sasih di Kampung Naga. Merupakan suatu kemunduran dalam pelaksanaan ibadah manakala telah melaksanakan sesuatu kepada yang lebih utama lalu melaksanakan kembali sesuatu yang tidak utama didalamnya. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007)
3.2.5. Kekhawatiran Melanggar Adat
Ritual Hajat Sasih merupakan salah satu ritual yang telah diatur oleh adat di Kampung Naga. Ritual ini, selain dipahami sebagai bentuk ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan, dan bentuk penyambut dari hari-hari besar keagamaan, juga dipahami masyarakat sebagai tuntutan dan keharusan yang diembankan leluhur mereka.
Masyarakat Kampung Naga mempunyai sebuah falsafah hidup mengenai adat dan keharusan untuk selalu merawat dan menjalankannya. Falsafah hidup tersebut berbunyi “Amanat wasiat dan akibat. Manakala amanat dan wasiat dilanggar, niscaya akan ada akibat yang menimpa.” (Falsafah ini selalu dikutip oleh narasumber wawancara (masyarakat Kampung Naga) manakala ditanyakan kepada mereka mengenai adat, ketaatan masyarakat kepada adat dan pelanggaran yang terjadi terhadapnya). Dalam pemahaman mereka, selalu akan ada akibat bagi setiap pelanggaran yang mereka lakukan.
Amanat dan wasiat adalah adat, agama dan ketaatan kepada keduanya, ditambah dengan ketaatan kepada pemimpin termasuk pemimpin pemerintahan. Sementara akibat, masyarakat Kampung Naga membaginya kepada dua bagian yaitu akibat langsung berupa hukuman langsung yang diterima pelanggar adat ketika pelanggaran dilaksanakan. Dan hukuman tidak langsung. Hukuman tidak langsung bisa terjadi dalam bentuk hukuman dari adat yaitu berupa pengucilan oleh masyarakat maupun hukuman yang datang dari leluhur mereka.
Selain itu, ada falsafah lain bagi masyarakat Kampung Naga, yaitu pamali (tabu). Kata pamali bagi masyarakat Kampung Naga merupakan sesuatu hal yang tidak boleh dilanggar. Jika ada kata pamali, masyarakat Kampung Naga tidak akan berani melanggarnya. Misalkan pamali memasuki hutan larangan. Masyarakat Kampung Naga tidak ada yang berani memasukinya. Adapun jika ada keperluan kesana (misalkan untuk medapatkan tanaman obat-obatan yang hanya ada disana), maka satu kaki masuk ke hutan dan satu kaki lainnya diinjakkan di sungai Ciwulan. (Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)
Keseharian hidup masyarakat Kampung Naga diatur oleh dua hal yaitu adat dan agama. Adat bagi masyarakat Kampung Naga merupakan kendali dan pengatur kehidupan di sana. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Mengenai ketaatan mereka kepada pemerintah, mereka merujuk kepada falsafah “Tatali kumawulang ka agama jeung darigama, saur sepuh aya tilu, panyaur gancang temonan, parentah gancang lampahan pamundut gancang caosan, upami teu udur ti agama jeung darigama. Pamarentah lain lawaneun tapi taateun salila teu udur ti agama jeung darigama” (Ada tiga hal yang dikatakan oleh orang tua dahulu mengenai aturan dalam mengabdi kepada agama dan darigama yaitu: panggilan cepat datangi, perintah cepat laksanakan, dan permintaan cepat penuhi. Pemerintah bukanlah sesuatu yang harus dilawan tapi sesuatu yang harus ditaati selama tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama dan darigama (Darigama merupakan aturan-aturan hidup yang dipegang oleh masyarakat Kampung Naga selain agama. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah aturan-aturan adat dan aturan-aturan yang turun dari pemerintah))
Falsafah Amanat, wasiat dan akibat, serta pamali merupakan dua hal yang saling memberikan kekuatan. Secara general, amanat wasiat dan akibat menyangkut seluruh aspek kehidupan yang ada kaitan atau diatur oleh adat. Sementara pamali atau tabu merupakan aturan adat yang tidak tertulis, yang disepakati dan dijalankan secara turun-temurun. Dia berperan secara riil sebagai rel atau jalan yang membatasi sesuatu yang boleh dan tidak.
Bersambung…….
Hajat Sasih; Ritual Terbesar dan Tersakral di Kampung Naga (2)
(Pemahaman Masyarakat terhadap hajat Sasih)
Oleh: Yogi Hendra Kusnendar S.Sos.I
merupakan serpihan-serpihan tulisan
dari skripsi penulis berjudul:
Da’wah Dan Tradisi Lokal
(Studi Hajat Sasih Pada Masyarakat Adat Kampung Naga Tasikmalaya dan Strategi Da’wah Terhadap Masyarakatnya)
1 comments:
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Yogi Hendra Kusnendar