Pertanyaan:
Seorang karyawan atau pegawai melaksanakan itikaf (pada 10 hari terakhir bulan ramadhan), sementara masa kerjanya baru berakhir tanggal 25 ramadhan. Apa hukum perbuatannya?
Jawab:
Tidak ada keraguan bahwa orang tersebut [yang beritikaf dengan meninggalkan kewajibannya- yaitu pekerjaannya] telah berijtihad. Namun ijtihad jika tidak dibangun di atas kaidah-kaidah syari’at, maka ijtihad tersebut salah. Terkadang pelakunya mendapat pahala karenanya, sebab dia telah berijtihad dan menginginkan kebenaran. Hanya saja, hendaknya ijtohad kita bangun di atas al-Qur’an dan as-Sunnah.
Orang yang meninggalkan pekerjaannya, kemudian datang ke masjid untuk beritikaf, keadaannya seperti orang yang meruntuhkan kota lalu membangun istana, karena ia mengerjakan sesuatu yang sunnah hukumnya. Tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mengatakan bahwa itikaf itu wajib. Para ulama telah bersepakat bahwa itikaf itu hanya sunnah.
Adapun mengerjakan kewajiban tugas/ pekerjaan, maka masuk dalam firman Allah swt.:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)
“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu panti diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra/ 17: 34)
Jadi, orang ini meninggalkan suatu yang wajib demi mengerjakan suatu yang sunnah. Oleh karena itu, wajib baginya memutus itkafnya dan kembali ke pekerjaannya, jika memang ia ingin terhindar dari dosa. Jika ia tetap beritikaf, maka berarti dia telah beritikaf di waktu yang sebenarnya menjadi hak bagi pekerjaan yang lain. Berdasarkan kaidah-kaidah ahli fiqih, itukafnya itu tidak sah dikerjakan dalam kondisi seperti itu karena dikerjakan pada waktu magshub (yang bukan haknya) atau menyerupai magshub.
Saya ingin menekankan hal ini agar pada ikhwan yang bersemangat dalam mengerjakan kebajikan-kebajikan dapat menyadari bahwa kaidah-kaidah syari’at serta dalil-dalil al-kitab dan as-sunnah tetaplah ahrus diperhatikan agar ijtihad terbangun di atas landasan yang benar sehingga ibadah kepada Allah pelaksanaannya benar-benar berdasarkan ilmu. (Fatawa Syaikh Utsaimin I/ 552-553 yang diadaptasi dari Majalah Fatawa vol. 10/th. 1/1424 H., hal. 16)
(diambil dari tanya jawab di buletin al-bahr Pusdiklat Dewan Da'wah)
Seorang karyawan atau pegawai melaksanakan itikaf (pada 10 hari terakhir bulan ramadhan), sementara masa kerjanya baru berakhir tanggal 25 ramadhan. Apa hukum perbuatannya?
Jawab:
Tidak ada keraguan bahwa orang tersebut [yang beritikaf dengan meninggalkan kewajibannya- yaitu pekerjaannya] telah berijtihad. Namun ijtihad jika tidak dibangun di atas kaidah-kaidah syari’at, maka ijtihad tersebut salah. Terkadang pelakunya mendapat pahala karenanya, sebab dia telah berijtihad dan menginginkan kebenaran. Hanya saja, hendaknya ijtohad kita bangun di atas al-Qur’an dan as-Sunnah.
Orang yang meninggalkan pekerjaannya, kemudian datang ke masjid untuk beritikaf, keadaannya seperti orang yang meruntuhkan kota lalu membangun istana, karena ia mengerjakan sesuatu yang sunnah hukumnya. Tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mengatakan bahwa itikaf itu wajib. Para ulama telah bersepakat bahwa itikaf itu hanya sunnah.
Adapun mengerjakan kewajiban tugas/ pekerjaan, maka masuk dalam firman Allah swt.:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)
“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu panti diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra/ 17: 34)
Jadi, orang ini meninggalkan suatu yang wajib demi mengerjakan suatu yang sunnah. Oleh karena itu, wajib baginya memutus itkafnya dan kembali ke pekerjaannya, jika memang ia ingin terhindar dari dosa. Jika ia tetap beritikaf, maka berarti dia telah beritikaf di waktu yang sebenarnya menjadi hak bagi pekerjaan yang lain. Berdasarkan kaidah-kaidah ahli fiqih, itukafnya itu tidak sah dikerjakan dalam kondisi seperti itu karena dikerjakan pada waktu magshub (yang bukan haknya) atau menyerupai magshub.
Saya ingin menekankan hal ini agar pada ikhwan yang bersemangat dalam mengerjakan kebajikan-kebajikan dapat menyadari bahwa kaidah-kaidah syari’at serta dalil-dalil al-kitab dan as-sunnah tetaplah ahrus diperhatikan agar ijtihad terbangun di atas landasan yang benar sehingga ibadah kepada Allah pelaksanaannya benar-benar berdasarkan ilmu. (Fatawa Syaikh Utsaimin I/ 552-553 yang diadaptasi dari Majalah Fatawa vol. 10/th. 1/1424 H., hal. 16)
(diambil dari tanya jawab di buletin al-bahr Pusdiklat Dewan Da'wah)
0 comments:
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Yogi Hendra Kusnendar