Friday, June 8, 2012

Sistem Kesenian Masyarakat Kampung Naga

Mengenai sistem kesenian masyarakat Kampung Naga, H. M. Ahman Sya dan Awan Muttakin menjelaskannya sebagai berikut:

“Sistem kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga termasuk miskin. Seni vokal yang mereka miliki terbatas pada kidung dan pantun, yang melukiskan lalampahan (lelakon kehidupan) dari beberapa tokoh baik yang diambil dari cerita sejarah, babad atau fiktif, yang mengandung suri tauladan untuk kehidupan. Ada dua versi cerita yang ditampilkan dalam bentuk pantun, misalnya lalampahan Achmad Muhammad dan ceritera Syeikh Abdul Kodir Jaelani. Bentuk kesenian ini biasanya ditampilkan pada acara selamatan, misalnya menyambut kelahiran bayi, cukuran, khitanan, dan perkawinan. Seni instrumentalia yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga boleh dibilang juga sangat miskin. Masyarakat Kampung Naga hanya memiliki satu perangkat alat yang disebut terbang gembrung. Perangkat ini hanya terdiri dari beberapa unsur diantaranya: beberapa buah dogdog (genderang kecil) dari berbagai ukuran (yang paling kecil memiliki ukuran diameter sekitar 40 sentimeter), dan unsur lainnya adalah beberapa buah angklung buncis”. (H. M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 80-83)

Adapun secara rinci jenis-jenis kesenian tersebut adalah:


A.    Terbang atau terbang gembrung
Terbang atau terbang gembrung hampir sama dengan rebana yang biasa dimainkan dalam kasidahan. Alat musik tradisional tersebut terbuat dari dua bahan dasar. Bingkainya yang merupakan tabung suara, terbuat dari bahan kayu yang dibuat sedemikian rupa dengan bentuk pipih dan bundar. Bagian tengahnya dibiarkan kosong. Pada salah satu sisi yang dijadikan muka terbang kemudian ditutup dengan kulit domba. Sekeliling pinggir terbang kemudian dipasang tali melingkar sehingga menyerup gelang. Tali tersebut berfungsi menjadi pengikat sisi-sisi kulit domba.

Untuk memperoleh suara yang diinginkan, di sekeliling tali pengikat tersebut dipasang “pen” yang berfungsi sebagai penahan dan sekaligus pengatur nada suara. Jika akan dimainkan, bagian pada permukaan terbang itulah yang ditepak-tepak oleh telapak tangan para pemain. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal. 101-102)

Terbang dalam kesenian masyarakat Kampung Naga terdiri dari empat buah. Terbang pertama disebut tingting, ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan terbang kedua yang disebut kemprong. Sedangkan kemprong ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan terbang ketiga yang disebut bangpak. Terbang keempat merupakan terbang yang paling besar dan disebut brumbung.

Terbang gembrung biasanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Para pemainnya duduk berjajar berurutan berdasarkan ukuran terbang yang akan dimainkan. Penyajian kesenian tersebut biasanya dimainkan bersama nyanyian yang disesuaikan dengan irama yang dibawakan. Pada umumnya, lagu-lagu yang dibawakan menggunakan Bahasa Arab yang intinya berupa puji-pujian untuk mengagungkan kebesaran Tuhan dan salam serta shalawat untuk Nabi Muhammad saw.

Masuknya terbang gembrung sebagai kesenian masyarakat Kampung Naga diduga kuat berkaitan erat dengan penyebaran Islam di Nusantara. Karena itu, kesenian tersebut biasanya digelar pada saat menyambut hari suci, misalnya hari raya Iedul fitri atau hari raya Iedul Adha. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal 102)

B.    Angklung
Jenis kesenian masyarakat Kampung Naga lainnya adalah angklung. Seperangkat angklung yang dimiliki masyarakat Kampung Naga terdiri dari empat buah dengan ukuran yang berbeda. Bentuknya hampir sama dengan umumnya instrumen angklung di daerah lainnya. Cara memainkannya dilakukan dengan menggoyang-goyang instrumen musik bambu tersebut.

Dalam fungsinya sebagai alat hiburan, kesenian angklung digunakan oleh masyarakat Kampung Naga untuk mengiringi jempana yang memuat hasil pertanian mereka, misalnya saat peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Jempana adalah tempat menyimpan hasil pertanian atau kerajinan yang terbuat dari potongan bambu dengan bentuk menyerupai trapesium. Untuk memudahkan mengangkutnya, pada bagian bawah jempana dipasang bambu yang berfungsi sebagai pikulan.

Selain untuk mengarak jempana angklung juga digunakan untuk mengiringi rombongan peserta upacara gusaran dalam pelaksanaan acara khitanan anak-anak masyarakat Kampung Naga dan Sanaga. Namun karena kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai fungsi religius, kesenian angklung digunakan pula sebagai tradisi untuk menghormati Dewi Sri Pohaci. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal 103-104)

C.    Beluk dan rengkong
Beluk dan rengkong merupakan dua jenis kesenian masyarakat Kampung Naga yang sudah jarang dijumpai. Dilihat dari fungsinya, terutama seni beluk mencerminkan fungsi solidaritas sosial antara satu warga dengan warga lainnya.

Seni beluk merupakan salah satu tembang Sunda yang banyak menggunakan nada-nada tinggi. Para pemainnya terdiri dari empat orang atau lebih. Kesenian ini biasa dimainkan pada malam hari, dan para pemain secara bergiliran membaca syair lagu dan kemudian menyanyikannya. Isi nyanyian biasanya diambil dari wawacan. Wawacan adalah cerita yang menggunakan Bahasa Sunda.

Wawacan dalam seni beluk biasanya ditulis dalam huruf Arab. Sedangkan tema ceritanya diangkat dari kisah-kisah kepahlawanan Shahabat Ali bin Abi Thalib dalam menyebarkan agama Islam. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal105-106)

Tulisan ini merupakan serpihan-serpihan tulisan
dari skripsi penulis berjudul:

Da’wah Dan Tradisi Lokal
 (Studi Hajat Sasih Pada Masyarakat Adat Kampung Naga, Tasikmalaya dan Strategi Da’wah Terhadap Masyarakatnya)

0 comments:

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Yogi Hendra Kusnendar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...